Kamis, 29 Desember 2011

Solusi 8 - Batasan perijinan bagi yang datang dari luar.

Bagian dari seri '10 solusi untuk perikanan lestari

Salah satu cara tangkap biota laut yang paling sering mengorbankan ekosistem laut adalah teknik pukat, atau trawl. Pukat sederhananya adalah kantong jaring besar yang di tarik kapal. Sayangnya, demi menangkap hewan laut yang hidup dekat dasar, pukat di tarik dekat dan di dasar laut.

Ukuran jaring yang sangat besar, dilengkapi pemberat dan komponen besi membuat pukat serupa buldoser yang meratakan habitat dasar laut. Tidak menutup kemungkinan juga sepanjang jalur 'yang di 'garuk' saat kapal tangkap pukat beroperasi, berton-ton koral dan biota dasar terangkat. Termasuk beton-ton biota tangkapan sampingan yang bukan menjadi incaran juga masuk dalam pukat.

Hasil tangkapan tidak sepadan nilainya jika dibandingkan besarnya habitat dasar yang dikorbankan dan peluang regenerasi populasi spesies laut yang hilang - semua hanya dalam waktu mingguan hingga bulanan armada tangkap pukat beroperasi, .

Praktik pukat tidak pandang tingkatan industri perikanan. Baik armada artisan hingga komersil modern, semua punya teknik tangkap pukat dengan teknologi berbeda, namun prinsip kerjanya sama.

Sudah bertahun-tahun lamanya negara-negara maju dengan perikanan industri modern menetapkan moratorium untuk pembatasan trawiling dasar laut di laut lepas serta pengurangan tangkapan sampingan dari trawling. Namun perusakan habitat dasar masih terjadi. Termasuk penangkapan berlebih dan terancamnya spesies terlindungi akibat tangkapan sampingan.

Di dunia saat ini, jumlah armada dan tenaga kerja komersil industri modern jauh lebih sedikit dibanding armada artisan atau komersil skala-kecil. Ratusan ribu berbanding jutaan. Namun, secara total kemampuan tangkap armada industri moder mampu menyamai ribuan bahkan jutaan armada tangkap artisan atau komersil skala kecil.

Di negara maju, pergerakan armada tangkap dan ikan yang ditangkap dan dijual terpantau dengan baik - hampir akurat. Dari analisa data perikanan industri modern skala besar di dunia, ternyata yang faktor penentu seringnya dan sejauh apa kapal tangkap industri modern besar terus menangkap, khususnya armada pukat, adalah bahan bakar dan perijinan. Ketimbang peraturan, atau legislasi perikanan.

Catatan bagi kita armada industri modern bisa bergerak antar-negara, antar-samudera dan antar-perairan. Indonesia-pun tidak luput dari akses kapal industri komersil skala besar. Baik asing maupun dalam negeri. Juga tidak hanya armada pukat dalam negeri saja yang mengeruk perairan lepas Indonesia.

Kembali ke analisa data perikanan industri di negara-negara maju, ternyata subsidi bahan bakar yang diberikan negara merek pada armada perikanan komersil besar tidak membawa keuntungan tangkap yang sepadan dengan dampak parktik perikanan mereka. Bingung?

Sebagai gambaran sederhana, dengan adanya subsidi bahan bakar dan perijinan tangkap di dalam dan luar negeri, mereka bisa mendaratkan 25% ikan lebih banyak dari 'normal'nya tanpa subsidi bahan bakar. Logisnyam, ada ekstra bensin, pergi bisa lebih jauh dan menangkap lebih lama.

Namun, ternyata dari 25% ekstra tangkapan tersebut, hanya 10% yang membawa keuntungan bagi industri dan negara asal kapal tangkap industrial modern. Sisanya terbuang sebagai tangkapan sampingan yang ditolak oleh pasaran / industri, dan tidak jarang dibuang kembali di laut. Sayangnya lagi, frekuensi 'penggarukan' dasar laut juga tidak kunjung mereda.

Disisi efisiensi tangkapan. Besarnya jumlah tangkapan sampingan dari kapal tangkap industri komersil besar, bisa berarti besar bagi armada tangkap artisan atau skala-kecil yang umumnya memanfaatkan semua hasil tangkapannya baik untuk subsisten (penghidupan) atau komersil. Lebih-lebih armada tangkap industrial modern tidak jarang pula beroperasi di peairan yang sama dengan armada artisan atau komersil skala kecil.

Catat, bahwa daya jangkau kapal industri modern besar bisa merambah antar negara. Baik secara legal - memasuki perairan negara lain dengan perijinan, atau secar ilegal - diam-diam, menyelundupkan ikan keluar dari perairan negara lain.

Saat ini, armada tangkap dalam negeri yang menjalankan praktik pukat juga masih terus berjalan, baik skala artisan hingga industri modern. Ini-pun masih masih jadi sumber tekanan ekologis dari sektor perikanan Indonesia. Namun, catatan besar bagi kita, bahwa Indonesia juga masih terus menjual ijin tangkap bagi kapal asing skala industri besar - yang tidak jarang juga melakukan praktik pukat

Mungkin Indonesia tidak punya kendali mengatur subsidi bahan bakar kapal-kapal industrial besar modern, atau-pun artisan asing. Begitu juga subsidi bahan bakar yang kabarnya diberikan negara. Pastikan subsidi bahan bakar tidak jatuh pada mereka yang menjalankan praktik tangkap yang merusak, seperti pukat yang berpotensi merusak habitat dasar asar dan memicu tangkapan sampingan. Selain itu Indonesia semestinya punya kendali dalam mengatur ijin operasi kapal asing di Perairan Indonesia.

Sebelum kita bisa menangkap dengan cara yang betanggung-jawab pada ekosistem, sebelum kita bisa memeratakan hasil tangkap ikan perikanan nasional untuk ketahanan pangan dan peningkatan pendapatan nelayan, sebelum kita bisa menciptakan sistem ekonomi perikanan yang berkeadilan: kita perlu masak-masak mempertimbangkan penjualan perijinan tangkap kapal asing di Perairan Indonesia - apalagi mereka yang berpotensi menambah tekanan ekosistem Laut Kita.

Referensi:

Sumaila, U.R., Pauly, D. eds. 2007. Catching more bait: A bottom-up re-estimation of global fisheries subsidies (2nd version). Fisheries Centre Research Reports 14(6):49-53. Fisheries Centre, University of British Columbia, Vancouver.

Rabu, 28 Desember 2011

Solusi 7 - Sistem pasar perikanan yang menerapkan penghargaan bagi parktik yang lestari.

Bagian dari seri '10 solusi untuk perikanan lestari

Perikanan manusia terus sebabkan tangkapan sampingan. Satwa terlindungi yang terancam tidak luput jadi imbas komersialisasi ikan global saat ini.
(Foto: Reuters)

Puluhan ribu ton biota laut tak sengaja tertangkap dan terbunuh akibat armada tangkap perikanan dunia. Inilah yang disebut tangkapan sampingan (bycatch) yang pada praktiknya juga mengancam biota laut terancam punah seperti hiu dan penyu.

Di negara dengan sistem pengelolaan perikanan yang relatif sudah maju, ada peraturan yang membatasi jumlah tangkapan sampingan yang boleh di ambil oleh Nelayan. Namun peneliti perikanan ungkap bahwa pendekatan regulasi tidak cukup melindungi satwa terancam yang populasinya sedang menurun drastis saat ini seperti penyu dan hiu.

Para peneliti ekonomi-ekologi perikanan tegaskan bahwa cara kita menjalankan pasar ekonomi perikanan juga bisa bawa perubahan. Solusi yang mereka ketengahkan adalah 'tradable bycatch credit', atau jika lugas diterjemahkan sebagai 'kredit tangkapan sampingan yang dapat diperdagangkan'.

Sederhananya, pasar ekonomi perikanan yang menerapkan kredit tangkapan sampingan berarti jika ada nelayan yang tak sengaja menjerat biota laut yang dilindungi diantara biota yang jadi tangkapan sampingannya - maka dia harus membeli 'poin' kredit dari Nelayan lain yang berhati-hati dalam tangkapan sampingannya.

Yang berlaku disini adalah, nelayan yang 'nakal' membayar 'denda'-nya kepada nelayan lain yang berhati-hati.

Sayangnya, walaupun sistim perikanan negara-negara dunia saat ini sudah mulai mengatur ke-'ramah-lingkungan-an cara tangkap mereka - sistim perdagangan ikan masih belum ciptakan dorongan finansial yang membuat pelaku tidak menangkap biota laut yang dilindungi. Justru sistem perdagangan ikan dunia saat ini cederung bangun permintaan yang tak henti akan biota laut yang dilindungi.

Balik ke kredit tangkapan sampingan. Dengan peraturan yang membatasi jumlah tangkapan sampingan, seluruh armada tangkap bisa diberhentikan menangkap saat mereka sudah capai jumlah maksimum yang diperbolehkan. Namun, peraturan ini ternyata buat kecenderungan Nelayan dan armada tangkap untuk secepat dan sebanyak mungkin tangkap ikan ketika 'sadar' bahwa jatah jumlah tangkapan sampingan mereka mendekati batas yang diperbolehkan.

Perilaku semacam itu berpotensi melumpuhkan perikanan sebab waktu dan usaha nelayan menjadi 'membabi-buta' tanpa perhatikan perlindungan satwa laut. Selain itu juga, nelayan yang 'tertib' menjaga batas tangkapannya dalam besaran yang lestari dirugikan akibat pupusnya harapan mereka untuk beri peluang populasi ikan laut pulih.

Solusi sederhana dicontohkan dari perikanan di Hawaii, ialah dengan menerapkan batasan kredit tangkapan sampingan bagi armada tangkap tiap tahunnya - misal, 200 kredit atau 'poin' untuk tiap nelayan yang terdaftar.

Contoh rakteknya, anggap jika denda untuk menangkap penyu adalah 250 poin, maka lebihan 50 poin tersebut harus dilunasi dengan membeli 50 poin dari Nelayan lain yang tertib.

Jika selama musim tangkap ternyata semakin banyak penyu yang tertangkap - anggap terburuknya, hingga Nelayan tidak ada kredit lagi - berarti mereka harus membayar harga 'poin' dari denda tangkapan sampingan dengan menaikkan harga ikan yang mereka jual di pasaran.

Ke siapa mereka membayar 'poin denda' tersebut? Ya ke Nelayan lain yang tertib. Jika tidak ada Nelayan yang tertib lagi, maka di bayar ke pemerintah pengawas perikanan. Namun situasi semacam ini jarang terjadi. Sebab yang diharapkan antar Nelayan ada sistem ekonomi yang saling mendisiplinkan antar mereka sendiri.

Satu contoh lain penerapan skema kredit dilakukan juga pada usaha pelestarian populasi ikan pedang / ikan todak yang sudah ditangkap berlebih. Saat Nelayan sudah dapat jatah kredit / 'poin' tangkapan sampingan tahunan mereka, mereka bisa menjual 'poin' tersebut ke pihak pasar/ industri perikanan.

Dengan dibelinya kredit secara tidak langsung nelayan dibayar untuk mengurangi tangkapannya. Tidak hanya mengurangi terbunuhnya ikan todak atau penyu, namun terciptanya subsidi yang datang dari pasar dagang. Dalam hal ini pasaran membeli sedikit mahal dari nelayan sebab mereka 'tertib' otomatis harga ikan pihak industri dipasaran juga akan naik. Disinilah pasar dagang ikan menciptakan kenaikan nilai jual ikan yang mendorong nelayan yang bertanggung-jawab. Inflasi yang positif.

Prakti semacam ini digagas dari pengamatan perikanan negara maju. Skemanya sejalan dengan konsep kredit emisi yang dapat diperdagangkan yang diterapkan perusahaan pencemar dalam industri energi dan manufaktur.

Namun, syarat utamanya adalah pengelola perikanan engara yang menjamin keberadaan pasar perikanan yang terstruktur dengan rapi dengan jalur lalu lintas ikan terpantau dengan kuat mulai penangkal (nelayan), hingga konsumen.

Catatan besar, disini Nelayan punya kekuatan kuat sebagai pelaku industri dalam menetapkan harga ikan. Sedangkan di Indonesia, Nelayan umumnya dikesampingkan akibat banyaknya perantara pasar ilegal, alias 'tengkulak'. Bahkan tidak jarang, tertib atau tidak tertib dalam cara tangkap, Nelayan tidak punya kuasa tentukan harga Ikan yang pantas buat kesejahteraannya.

Indonesia? Bisa saja kalau kita mau berbenah diri.

Digubah kembali dari laporan penelitian dari Geogre Sugihara oleh Siham Afatta

Ikan hasil kerja keras nelayan terkadang harganya tidak membayar keringat Nelayan. Nelayan yang 'memproduksi' ikan memiliki posisi tawar lemah dalam perdagangan ikan mereka sendiri.
(Foto: www.indomaritimeinstitute.org)
Referensi:

2009. Sugihara, G., and H. Ye. Reducing Chinook salmon bycatch with market-based incentives: individual tradable encounter credits (ITEC). A recommended approach for an industry market-incentive plan. Report and Testimony to the North Pacific Fishery Council (February 2009).

Nasib nelayan kian memburuk. May 23 2011. Indonesia Maritime Institute.