Sabtu, 05 Maret 2011

Perikanan skala kecil kita saat ini (2): Laut bukan sawah.



(Lanjutan)


Kesalahan lain Indonesia adalah kita memanen ikan dari laut layaknya memanen padi di daratan. Hampir tidak mungkin untuk menetapkan kepemilikan laut layaknya petani yang memiliki petak sawah. Siapa yang memanen ikan pun juga tidak bisa dikendalikan layaknya petani garapan yang dengan mudahnya dipilih dan dikontrak pemilik sawah untuk memanen padi.

Cerita yang terjadi adalah dalam satu petak sawah, dua kelompok petani dengan bersamaan memanen padi. Namun, kelompok pertama petani menanam dan memanen dengan bantuan tangan dan kerbau. Kelompok kedua dengan mesin traktor otomatis yang 100x lebih besar kapasitas dan kecepatan panennya.

Kelompok pertama adalah gambaran bagaimana nelayan skala kecil tidak begitu diminati dalam ekonomi perikanan 'berbasis kekayaan' yang digandrungi Indonesia saat ini. Sebab kurang cepat untuk permintaan global.

Cerita masih berlanjut. Kelompok petani pertama tidak mau kalah. Dalam petak sawah siap panen baru, jumlah petani dan kerbau mereka gandakan 100x lipat. Akhirnya mereka bisa menyamakan daya panen padi mereka dengan kelompok petani bermesin. Namun sayangnya, ternyata beras kelompok petani sederhana tidak bisa dijual di pasaran global.

Ternyata petani sederhana tidak punya akses dan lisensi pasar, beras mereka tidak di-eco-labeling, dan tidak ada sertifikat kontrol kualitas. Alhasil padi harus dijual harga lokal, dan tiap petani dapat 1/100 bagian dari keuntungan. Demikian gambaran nelayan skala kecil yang 'memanen' laut bersama dengan nelayan industri.

Tunggu dulu. Bukankah nelayan skala kecil nantinya mendapat 'cipratan' keuntungan dari biaya 'sewa' laut yang dikeluarkan para nelayan industri (dari pengusaha asing, tepatnya) untuk pengadaan ijin tangkap mereka?

Betul, namun benar-benar sebuah cipratan sayangnya. Sebab tugas mendistribusikan pendapatan 'sewa' laut dari nelayan industri (±10% perikanan nasional) ke jutaaan nelayan skala kecil (±90% dari perikanan nasional !) bugan tugas mudah bagi Indonesia yang memiliki banyak cacat kepemerintahaan saat ini.

Belum lagi, saat 'cipratan' itu datang, nelayan skala kecil disuguhi paket-paket mata pencaharian baru yang kabarnya pendapatannya lebih menjanjikan. Belum lagi, peralihan ini didesak dengan kenyataan bahwa stok ikan dilaut menipis, dan dengan dalih cara tangkap nelayan skala kecil yang merusak.

Tidak lain, kenyataan dan dalih ini sebenarnya hasil dari dihiraukannya prioritas untuk pengawasan, pemantauan dan pengelolaan penangkapan ikan serta pembaharuan alat tangkap dan aset pencaharian nelayan skala kecil -- kesemuanya yang semestinya diwujudkan dari pendapatan 'sewa' laut tersebut.


Lanjut ke bag. 3: Mensejahterakan nelayan, bukan memperkaya.

Tidak ada komentar: