Rabu, 16 Februari 2011

Lautan yang mengasam: Terumbu karang butuh perlindungan jauh lebih besar lagi.

Saat ini manusia terus meng-asam-kan dan menghangatkan lautan dunia. Kita perlu berusaha lebih giat lagi untuk menyelamatkan Terumbu Karang.

Terumbu dengan koral yang terjaga (atas)
dan koral dalam status kelulushidupan rendah, diselimuti alga (bawah).
(Foto: Siham Afatta / Karimunjawa, Indonesia)

Studi terkini dari tim ilmuwan internasional mengemukakan bahwa pengasaman laut dan pemanasan global akan berlangsung bersamaan dengan dampak lokal manusia seperti penangkapan ikan berlebih dan buangan nutrien dari daratan - terus semakin melemahkan terumbu karang dunia disaat mereka sedang mencoba bertahan saat ini.

Permodelan ekologis yang dilakukan oleh tim yang digagas Dr Ken Anthony dari ARC Centre of Excellence for Coral Reed Studies dan Global Change Institute di The University of Queensland menemukan bahwa: terumbu yang sudah mengalami penangkapan berlebih serta terpapar lepasan nutrien dari erosi di daratan akan semakin rentan akan peningkatan CO2 di atmosfir yang diakibatkan pembakaran bahan bakar fosil.

Studi mereka adalah yang pertama kali menggabungkan proses skala global seperti pemanasan iklim dan pengasaman laut, dengan faktor lokal seperti penangkapan berlebih dan buangan aliran dari daratan (runoff); dalam memprediksi kombinasi dampak pada terumbu karang.

'Resep mudah untuk menghapus terumbu karang dari Bumi'
(Foto: Paul Marshall, Ken Anthony)

"Saat kadar CO2 menanjak hingga 450-500 bagian persejuta (ppm) - sebagaimana diprediksi terjadi di 2050 - sejauh apa usaha kita bisa mengelola dampak lokal di terumbu (seperti perikanan dan polusi dari daratan) menjadi penentu untama mampu bertahannya terumbu karang, jika tidak, alga bisa mengambil alih tempat tumbuh koral di terumbu" - dikutip dari artikel ilmiah mereka.

Kondisi laut yang menghangat menyebabkan kematian koral masal yang berkala karena pemutihan, sedangkan pengasaman air laut - akibat CO2 yang larut dari atmosfir - melemahkan koral dengan menganggu kemampuan mereka membangun struktur koral, membuat koral lebih rentan akan dampak badai.

Jika koral juga dipengaruhi oleh buangan nutrisi (polusi) dari daratan - sehingga 'menyuburkan' alga dan diperparah dengan penangkapan berlebih ikan kakatua dan biota lainya berperan menjaga terumbu bersih dari alga sehingga terumbu bisa pulih kembali setelah sebuah gangguan) - maka, dalam situasi ini, terumbu bisa sepenuhnya dilingkupi alga, menggantikan koral yang menetap diatas terumbu.

Permodelan yang dilakukan tim peneliti, meskipun simulasi dilakukan tidak dalam skenario ekstrim, sudah mampu menghasilkan prediksi kritis bagi terumbu di negara berkembang seperti Indonesia - dimana terumbu karang berdampingan selalu dengan tingkat gangguan tinggi dari aktifitas manusia.

Sederhananya, model mereka menguak bahwa semakin banyak CO2 dilepaskan manusia, semakin sulit keadaan bagi koral untuk bertahan. Koral akan membutuhkan segala macam pertolongan yang mereka bisa dapat dari segala usaha pengelolaan yang manusia bisa lakukan untuk mencegah mereka kalah tumbuh dan dilingkupi rumput laut.

Terumbu karang di negara berkembang, dimana terumbu dunia paling banyak berada, seperti Indonesia; saat ini dihadapkan selalu dengan penangkapan berlebih dan nutrifikasi. Mereka saat ini sangat rentan, dimana kapasitas para pengelola terumbu dan pemerintah menentukan nasib mereka di masa depan.

Dalam sisi global, jika kesepakatan manusia gagal dalam menstabilkan dan mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfir Bumi, maka jenis koral pembangun struktur dasar terumbu seperti Acropora, bisa hilang dalam jumlah besar - meskipun usaha pengelolaan di skala lokal dilakukan sebaik apapun.

Spesifiknya, usaha pengelolaan sekala lokal seperti menjaga populasi ikan herbivori serta pencegahan buangan erosi daratan berlebih, zat pupuk dan limbah dari daratan - menjadi kunci peran dalam menjaga ketahanan koral dalam proses penstabilan CO2 di masa depan.

Di Indonesia, tindakan tidak ramah lingkungan pada terumbu karang terkait dengan instabilitas perekonomian masyarakat pesisir. ±90% nelayan Indonesia adalah nelayan skala-kecil. Namun, Lebih 60% keuntungan tangkap ikan di Indonesia mengalir ke 5% nelayan asing.

Komitmen pemerintah Indonesia dalam menyelamatkan masyarakat nelayan dan pesisir dari kemiskinan, menentukan selamatnya terumbu karang dan kelestarian perikanan Indonesia dalam dekade kedepan. Kesadartahuan dan proaktif masyarakat dalam menjaga kelestarian laut juga akan kritis dalam menentukan nasib pesisir dan laut. 

Referensi
  • Kenneth R. N. Anthony, Jeffrey A. Maynard, Guillermo Diaz-Pulido, Peter J. Mumby, Paul A. Marshall, Long Cao, Ove Hoegh-Guldberg. Ocean acidification and warming will lower coral reef resilience.Global Change Biology, 2011; DOI: 10.1111/j.1365-2486.2010.02364.x

Selasa, 15 Februari 2011

Jeremy Jackson: Bagaimana Kita merusak lautan. (English)

Tim editor saat menengok TED.com mendapatkan presentasi yang mencengangkan dari ekologis terumbu karang Jeremy Jackson yang membeberkan status kritis lautan saat ini: di-tangkap-berlebih, di-panaskan, di-cemarkan, dengan tanda-tanda bahwa semua akan menjadi lebih buruk. Foto yang ciamik dan statistik memperkuat presentasinya. Kenapa simak Jeremy Jackson? Klik disini.





Ada apa dengan lekuk tubuh kuda laut?

Kuda laut sedang menetap di koral.
(Foto: thurdl01 / Flickr)

Morfologi leher kuda laut yang melengkung berkaitan dengan cara memangsa mereka.

Bentuk khas tubuh kuda laut yang berbentuk 'S' menjadi senjata rahasia mereka: Sebagai adaptasi hewan kecil, juga karnivora, ini yang senang berburu dengan menyergap mangsa nya - menurut penelitian yang mengkaji properti biomekanik daerah leher kuda laut yang melengkung.

Evolusi awal kuda laut diduga bermula dari ikan perenang yang panjang dan langsing seperti ikan pipa / pipefish. Menempatkan dirinya menggunakan ekor cengkeram memungkinkan kuda laut 'melayang' dengan tenang bak patung di sekitar terumbu karang dan hamparan lamun, menunggu udang kecil dan larva ikan berenang lewat. Dengan seketika, mereka bisa memajukan kepala mereka dan 'sruut', predator mungil ini menyedot mangsanya yang tidak mengantisipasi. Kuda laut dan pipefish keduanya memakai teknik 'julur' dan 'sedot'ini, dikenal sebagai pivot feeding. Kuda laut, terkecuali, tidak mengejar mangsanya sebagaimana pipefish, sehingga daya jangkau leher kuda laut penentu utama kesuksesan berburu mereka.
Kuda laut menetap di lamun.
(Foto: hauplight.blogspot.com)

Sam Van Wassenbergh dare the University of Antwerp di Belgia, salah satu ko-penulis dalam penelitian di Nature Communications, 25 Januari lalu mengatakan bahwa jika kita melihat vidio pipefish saat memangsa, kita bisa melihat aspek mekanis penting dari bagian leher mereka. Dari sini, Sam melanjutkan, bahwa kami (tim peneliti) muncul ide tentang kemungkinan peranan penting dari bentuk unik tubuh kuda laut dlam menangkap mangsanya.

Para peneliti menggunakan video dengan kecepatan frame tinggi dan permodelan matematis untuk menunjukkan sejauh mana penyerupaan tubuh kuda oleh kuda laut mempengaruhi performa pivot feeding mereka. Setelah mempelajari vidio kuda laut dan pipefish, time peneliti menemukan bahwa, selain gerakan naik-turun kepala mereka serupa, kuda laut bisa lebih memanjangkan kepala mereka ke arah depan. Dibandingkan dengan pipefish yang berbadan tegak lurus, semua kuda laut yang dipelajari dengan konsisten menunjukkan gerakan tambahan ke depan dari kepala mereka, dilihat dari jalur lintasan mulut mereka ketika menyerang mangsanya.


Dua permodelan matematis dikembangkan, satu untuk pipefish, dan satu untuk kuda laut. Para peneliti menyetarakan model tersebut menggunakan program komputer, memperhalus setelan fleksibilitas, unsur internal dan ketahanan hidrodinamis setiap segmen tubuh hewan-hewan ini hingga model bisa mensimulasikan pivot feeding seperti yang mereka rekam di vidio. Sam mengatakan bahwa permodelan matematis telah menjadi alat bantu penting bagi para morfologis dan biomekanis.


Setelah memanipulasi model tersebut dalam hipotesa penengah antara kuda laut dan pipefish - kuda laut berleher tegak dan pipefish berleher bengkok - peneliti bisa menguji efek fungsional bentuk tubuh mereka. Peneliti menemukan bahwa meskipun leher kuda laut yang melengkung menyediakan jangkauan lebih tinggi (jarak serang), kecepatan serang mereka dikorbankan. Melekuk-kan leher model pipefish, sebagai contohnya, menghasilkan peningkatan 28 persen dalam jarak serang. Sebaliknya, meluruskan leher model kuda laut meningkatkan kecepatan serang 36 persen.

Kuda laut siap memangsa udang kecil disekitarnya.
(Foto: www.fusedjaw.com)

Kuda laut perlu menghisap lusinan udang kecil setiap harinya agar bisa bertahan. Meskipun lekuk tubuh membuat mereka menjadi perenang yang ceroboh dibandingkan keponakan-keponakan mereka yang lebih aerodinamis, keunggulan mereka dalam jarak serang nampaknya teradaptasikan dengan sesuai pada strategi makan mereka yang 'duduk tenang menunggu'.

Kuda laut diduga menempati habitat-habitat dimana pipefish saat ini berada dibantu dengan kelebihan jarak serang mereka yang diduga memungkinkan kuda laut, sebagai pendatang baru dalam evolusi, untuk berkompetisi dengan sukses dalam memangsa pakan yang sama dengan pipefish, menurut ujar Peter Teske, yang meneliti evolusi dan ekologi kuda laut di the Rhodes University di Afrika Selatan, namun tidak terlibat dalam studi ini.

Temuan ini merupakan bagian dari pazel yang mencoba menjelaskan betuk kuda laut yang nyeleneh. Namun, jawaban yang diberikan studi ini justru berperan dalam pemahaman evolusi kuda laut.

Sebuah petunjuk juga bisa kita lihat dari pygmy pipehorse, ikan yang menyerupai baik kuda laut dan pipefish. Sepertihalnya kuda laut, pygmy pipehorse memiliki buntut jangkar/cengkeram, namun berenang horizontal seperti pipefish. Temuan posisi filogenetik mereka menunjukkan bahwa pygmy pipehorse diduga sebagai pendahulu evolusi menuju kuda laut, ketimbang pipefish. Peneliti menduga evolusi buntut jangkar/cengkeram mendahului evolusi lekuk kepala kuda laut.