Minggu, 22 Agustus 2010

Penyu Mukomuko Terancam Abrasi


Jejak penyu di pantai seusai bertelur di malam hari.

Bengkulu (ANTARA News) - Habitat penyu langka di Desa Air Hitam, Kecamatan Pondok Suguh, Kabupaten Mukomuko terancam digerus abrasi pantai akibat kawasan cagar Alam sekitar itu rusak.


"Hutan cagar alam di wilayah itu luas seluruhnya 85 hektare sudah dirambah warga mencapai 50 hektare dan dijadikan kebun kelapa sawit," kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Bengkulu Andi Basrah didampingi Kabau TU Supartono, Minggu.

Sisa 35 hektare itu sekarang masih digerogoti perambah di beberapa desa antara lain warga Desa Air Hitam dan Sinar Laut setempat.

Kawasan hutan cagar alam seluas 85 Hektare itu kembali akan dihijaukan karena ancaman abrasi pantai terus mengerus itu, sehingga akan mengganggu habitat dan budidaya penyu langka setempat.

Upaya menghijaukan kembali kawasan itu BKSDA sudah menurunkan tim terpadu untuk menebangi ribuan pohon kelapa sawit perambah dalam kawasan cagar alam tersebut.

Tim sudah diturunkan mulai, Sabtu (21/8) sampai saat ini sudah berhasil menebang sekitar 400 batang kelapa sawit disepanjang tapal batas dengan lahan warga setempat.

Penebangan pohon kelapa sawit tersebut disaksikan warga, kelapa desa, camat dan Asisten I Setwilda Kabupaten Mukomuko.

Tahap pertama ini dilakukan penebangan tiga jalur pada batas, berikutnya akan dilanjutkan setelah bulan puasa, namun sebelumnya penebangan tahap kedua seluruh perambah dalam kawasan itu akan diperiksa di Polda Bengkulu.

"Nanti akan diberikan solusinya apakah perambah bersedia menanam pohon pelindung sekaligus memeliharanya sampai besar, atau mau diproses hukum dan penebangan dilanjutkan tim terpadu," kata Andi.

Tim terpadu sebanyak 150 orang dari petugas Polisi kehutanan, anggota Polda Bengkulu dan TNI itu, melibatkan 40 pasang operator gergaji mesin (chainsaw).

"Kami tidak akan berikan kesempatan bagi perambah untuk memelihar tanaman kelapa sawit tersebutm apalagi mau membuka lahan baru,"katanya.

BKSDA Bengkulu juga menertibkan ribuan perambah dalam kawasan lahan konservasi seluas 45 ribu hektare yang saat ini sudah 75 persen rusak.

Razia berikutnya akan melibatkan tenaga gajah untuk mencabut tanaman perambah dan merobohkan pondok mereka, "bila perlu pondok-pondok itu dibakar seperti dilakukan dalam kawasan taman wisata alam Bukit Kaba Rejang lebong belum lama ini," katanya.
(ANT/A038)

Jumat, 20 Agustus 2010

'Benua' sampah plastik di Samudera Atlantik Utara.

(Gambar: www.inl.co.nz)

Hamparan luas sampah plastik untuk pertama kalinya ditemukan di Samudera Atlantik utara. Kawasan sampah ini lebh besar lagi dibanding 'benua sampah' yang sudah ada di Samudera Pasifik. Satu lagi keadaan darurat yang Kita berikan bagi satwa Laut dunia.

Sampah plastik yang di temukan di sekitar timur Atlantik hingga kawasan bermuda, terdiri dari serpihan yang hanya beberapa milimeter saja ukurannya. Namun, konsentrasi sampah yang luar biasa tingginya lebih dari mencemaskan bagi kehidupan Laut disana.

Dengan jaring bermata halus ditarik kapal peneliti, ilmuwan mengumpukan lebih dari 64.000 buah plastik dari 6.100 lokasi di laut dari survey yang berlangsung 22 tahun. Konsentrasi tertinggi terletak di 32 derajat lintang utara, namun membentang 500 mil arah utara dan selatan.

Kawasan 'sup plastik' di Samudera Atlantik
(Gambar: www.independent.co.uk)

Kara Lavender Law dare the Sea Education Association di Woods Hole, Massachusetts, AS, berkata bahwa besarnya 'bercak sampah' di Atlantik hampir sama dengan yang di Pasifik, dan sirkulasi arus Gyre Pasifik Utara menjebak sampah di areal besar utara khatulistiwa.

"Samudera Pasifik juga dapat perhatian lebih besar akan akumulasi plastiknya, namun kita tidak begitu banyak tahu juga akan Pasifik sehingga sulit untuk membandingkannya dengan Atlantik dalam ukuran 'bercak sampah", ujar Dr Lavender Law. "Namun untuk konsentrasi sampah, kedua lokasi tersebut sepadan tingginya".

"Untuk pertama kalinya kami bisa melihat batasan utara-selatan di kawasan penumpukan plastik ini. Kami juga menampilkan kumpulan data yang paling besar tentang sampah plastik laut di kawasan Samudera." dia menambahkan. Jaring pengumpul sampah yang digunakan memiliki mata jaring 0.3mm, jadi sampah yang didata berukuran lebih besar dari in. "Kebanyakan serpihan terkumpul lebih kecil dari ukuran penghapus di ujung pinsil anda. Dan sampah ini adalah fragmen / serpihan dari bagian benda yang lebih besar, dan asalnya juga kita tidak tahu."

Kebanyakan plastik adalah polyethylene atau polypropylene, yang lebih ringan berat jenisnya dibanding air laut, sehingga terapung dekat dengan permukaan air. Namun, jenis plastik lain yang lebih beray mungkin juga telah tenggelam ke dasar dan tidak dijumpai.

Lokasi sampling plastik antara tahun 1991-1995 dan 2004-2007
(Gambar: Morét-Ferguson, S, et al. 2010) 

Penelitian ini menemukan bahwa konsentrasi partikel plastik yang tertangkap di jaring cenderung konstan, sejak dimulainya survei di tahun 1986 - namun bukan berarti masalah sampah di samudera ini terkelola. "Tampaknya memang konstan, namun kita juga tidak tahu apakah ini semakin buruk. Sebab, kita hanya mengukur partikel plastik lebih besar dari sepertiga milimeter, dan yang di permukaan saja."

"Alasan yang mendukung adalah, 'larutan' plastik halus yang melewati jaring tidak terkumpulkan oleh kami. Dan plastik halus ini masih bisa terkonsentrasi secara luas di lautan."


"Satu alasan lain adalah, pada serpihan/ bongkahan plastik, pertumbuhan biologis mungkin terjadi dan melingkup plastik sehingga plastik berat dan tenggelam atau berada di bawah permukaan, sehingga tidak terdata kami."

Serpihan kecil plastik membawa ancaman lebih besar bagi satwa laut, dibanding bongkahan besar yang juga bisa menjerat satwa seperti penyu dan burung laut. Kita tahu bahwa serpihan halus plastik bukan makanan hewan laut, dan apay yang terjadi bagi mereka yang menyantapnya - yang juga kita santap kemudian - jelas diluar kemampuan alami mereka.

Referensi
Morét-Ferguson, S, Law, K, Proskurowski, G, Murphy, E, Peacock, E & Reddy, C 2010, 'The size, mass, and composition of plastic debris in the western North Atlantic Ocean', Marine Pollution Bulletin.

Sampah plastik di permukaan laut.
(Foto: www.ficsu.org)

Penyu dan plastik.


Kawasan 'sup plastik' di Samudera Pasifik.


Kamis, 05 Agustus 2010

Emisi karbon mengancam populasi ikan.

Emisi karbon dioksida manusia bisa berdampak signifikan bagi populasi ikan dunia, menurut penelitian terkini di Australia.

Akibat kandungan CO2 yang meningkat, juvenil ikan berenang menjauhi habitat terumbu-nya sehingga resiko kematian akibat dimakan predator lebih tinggi. 
(Foto: Dr Mark McCormick, ARC Centre of Excellence for Coral Reef studies)

Bayi ikan dengan bisa menjadi santapan mudah bagi predator saat lautan dunia menjadi semakin asam akibat CO2 yang diserap dari aktifitas manusia.

Dalam serangkaian eksperimen yang dilaporkan dalam Proceedings of the National Academy of Science (PNAS), tim riset menemukan bahwa sejalan dengan meningkatnya tingkat karbon dan meng-asam-nya lautan, tingkah laku bayi ikan berubah dramatis - dalam hal berkurangnya peluang kelulushidupan sebesar 50 hingga 80 persen.

"Ketika CO2 meningkat di atmosfir dan larut dalam lautan, air menjadi sedikit lebih asam. Pada akhirnya ini akan mencapai titik dimana indera penciuman dan tingkah laku larva ikan berubah secara signifikan," ujar Professor Philip Munday dari the Australian Research Council's Centre of Excellence for Coral Reef Studies (CoECRS) di James Cook University.

"Bukannya menghindari predator, mereka bisa menjadi tertarik dengan predator. Larva ikan tersebut tampaknya kehilangan kewaspadaan alamiahnya dan mulai mengambil resiko besar, seperti berenang ke lautan lepas -- dengan konsekuensi yang mematikan tentunya."

Dr Mark Meekan dari the Australian Institute of Marine Science, salah satu penulis artikel jurnal tersebut, berkata bahwa perubahan tingkah laku ikan bisa memberikan implikasi serius terhadap keberlanjutan populasi ikan sebab lebih sedikit bayi ikan yang bisa bertahan hidup untuk regenerasi populasi dewasa.

"Setiap kita menyalakan mobil atau lampu, CO2 dihasilkan dan diserap lautan, pada akhirnya membuat laut sedikit lebih asam. pH lautan telah menurun 0.1 satuan dan bahkan bisa lebih lagi hingga 0.3 - 0.4 satuan jika kita terus melepaskan CO2 dalam laju yang meningkat saat ini.

"Kita sudah tahu bahwa ini akan berdampak yang tidak diinginkan bagi karang, hewan laut bercangkang, plankton dan organisme yang memiliki pengapuran dalam rangka tubuhnya. Sekarang kita mulai tahu bahwa keadaan ini juga bisa berdampak pada biota laut lainnya, sebagaimana pada ikan."

Penelitian sebelumnya dari Prof. Munday dan rekan-rekan menemukan bahwa bayi clownfish 'Nemo' tidak bisa sulit dalam navigasi pulang ke habitatnya dalam kondisi laut yang lebih asam. Experimen terkininya mencakup beragam spesies ikan dan menunjukkan bahwa air laut yang ter-asidifikasi menghasilkan perubahan yang membahayakan dalam tingkah laku ikan."

"Jika manusia terus membakar batubara dan minyak dalam laju saat ini, tingkat CO2 atmosfir bisa mencapai 750 - 1000 bagian persejuta di akhir abad ini. Keadaan ini bisa mengasamkan laut lebih cepat dari yang sudah terjadi dalam kurun 650.000 tahun ke belakang.

"Dalam experimen ini, kami menggunakan air laut yang dikondisikan sebagaimana keasaman di akhir abad - dalam situasi kita yang tidak melakukan apa-apa dalam mengurangi emisi. Bayi ikan kami kondisikan dalam air laut tersebut, dalam aquarium, dan dikembalikan ke laut untuk diamati bagaimana tingkah laku mereka setelah itu.

"Ketika kami kembalikan ke terumbu, kami menemukan bahwa mereka berenang menjauhi sarang/tempat berlindungnya mereka dan kemungkinan kematian mereka lima hingga delapan kali lebih tinggi dibanding bayi ikan normal," ujar Professor Munday.

Beliau menambahkan bahwa, sebagai catatan, dampak ini bisa terjadi baru dari pemanasan global saja, sebagai konsekuensi langsung emisi karbon manusia.

Tim peneliti menyimpulkan bahwa, "Hasil kami menunjukkan bahwa tambahan CO2 yang diserap lautan berpotensi dalam melemahkan kesuksesan rekrutmen ikan dan secara langsung berdampak bagi keberlangsungan populasi ikan di masa depan."

Prof. Munday menambahkan, dalam laporan tahun 2008 tentang status perikanan dunia oleh UN-FAO bahwa, "potensi maksimum ikan liar yang bisa ditangkap dari lautan saat ini sudah tercapai" Jika Kita menambah dampak pengasaman laut dan dampak berubahan iklim lainnya, berarti ada alasan kuat Kita perlu cemas akan habisnya cadangan ikan dunia dimasa depan dan jumlah sumber pangan yang bisa kita dapat dari laut."

Referensi:

Philip L. Munday, Danielle L. Dixson, Mark I. McCormick, Mark Meekan, Maud C.O. Ferrari and Douglas P. Chivers. Replenishment of fish populations is threatened by ocean acidification. PNAS, July 6, 2010 DOI: 10.1073/pnas.1004519107

Jutaan penyu diperkirakan telah mati akibat perikanan komersil dunia.

Jumlah penyu yang terjerat oleh alat tangkap ikan komersil dalam 20 tahun kebelakang mungkin telah mencapai jutaan, menurut studi peer-review yang mengkompilasi data bycatch (tangkapan sampingan) penyu dari perikanan gillnet (jaring insang), trawl (pukat) dan longline (rawai) di dunia.

Penyu ikut tertangkap.
(Foto: www.endoverfishing.org)

Studi tersebut dipublikasikan online tanggal 6 April di Jurnal Conservation Letters, menganalisa data yang dikumpulkan dari beberapa artikel jurnal ilmiah, laporan pemerintah, laporan teknis dan proceeding simposia yang diterbitkan antara tahun 1990 hingga 2008. Semua data berdasarkan pengamatan langsung lapangan atau wawancara dengan nelayan. Studi ini tidak mencakup data dari perikanan rekreasi.


'Pesta' penyu akibat gillnet.


(Photo © Projeto Tamar Brazil-Image Bank)


Enam dari tujuh spesies penyu dunia saat ini terdaftar sebagai vulnerable (rentan), endangered (terancam punah), atau critically endangered (kritis terancam punah) dalam IUCN Red List of Threatened Species.

"Pengamatan lapangan langsung dan wawancara dengan nelayan mengindikasikan 85.000 penyu telah terjerat antara 1990 dan 2008. Namun, sebab laporan ini hanya mewakili kurang dari satu persen armada perikanan yang ada didunia, belum lagi dengan sedikit atau bahkan tidak ada informasi dari perikanan skala kecil di penjuru dunia, kami mengestimasi bahwa total sebenarnya setidaknya dua digit lebih tinggi lagi;" ujar Bryan Wallace, penulis utama dari artikel ilmiah baru ini.

Wallace adalah penasehat senior untuk the Sea Turtle Flagship Program di Conservation International dan asisten professor di Nicholas School of the Environment, Duke University.

Ulasan data global mereka mengungkap bahwa laju bycatch tertinggi yang dilaporkan dari perikanan longline datang dari kawasan Baja California, Meksiko; laju tertinggi untuk perikanan gillnet terjadi di kawasan Adriatik Utara laut Mediterania dan untuk trawl laju tertinggi terjadi di lepas semenanjung Uruguay.


'Pesta' penyu akibat longline.
(Photo © Projeto Tamar Brazil-Image Bank)


Ketika laju bycatch dan jumlah aktifitas perikanan yang teramati untuk ketiga jenis alat tangkap digabungkan dan di-rangking untuk semua kawasan, empat kawasan muncul sebagai prioritas konservasi utama: laut Pasifik Timur, Mediterania, Atlanik Barat Daya dan Atlantic Barat Laut.

"Meskipun angka kami hanya estimasi, mereka tetap menunjukkan pentingnya keberadaan panduan atau aturan main dalam peralatan dan praktik perikanan untuk membantu mengurangi dampak negatif ini", ujar Bryan.

Pencegahan efektif untuk mengurangi bycatch penyu termasuk penggunaan kait lingkar dan umpan ikan dalam perikanan longline, dan Turtle Excluder Device (TED) di trawling. Kebanyakan dari modifikasi alat tangkap yang efektif malahan dikembangkan oleh nelayan sendiri.


Cara kerja TED dalam membuat ruang bagi penyu untuk 'kabur'.
(Foto: danamccauley.wordpress.com)



Bryan berkata bahwa perikanan longline Hawaii dan perikanan Australia telah mengurangi bycatch secara signifikan melalui hubungan kerja yang dekat antara nelayan dengan pemerintah pengelola, penggunaan pengamat di geladak dan modifikasi alat wajib dan inovasi teknologi. TurtleWatch, sebuah database real-time menyediakan update harian untuk temperatur air dan kondisi laut lainnya yang menandakan dimana penyu bisa ditemui, telah memandu nelayan dalam menghindari penempatan alat tangkap di lokasi tersebut.

Pendekatan lainnya, seperti penetapan kawasan perlindungan laut dan penetapan quota tangkap, juga mengurangi bycatch, menjaga biodiversitas laut dan memicu stok ikan yang sehat - dalam beberapa kasus, ujar Bryan.

Penyu melepaskan diri dari pukat melalui TED.
(Vidio: NOAA office of education)

Bycatch dari perikanan adalah ancaman akut bagi populasi penyu dunia saat ini. Banyak hewan laut mati atau terluka akibat interaksi ini," ujar Bryan. "Namun pesan kami intinya bahwa ini bukan kehilangan semata. Pengelola dan nelayan bisa memilik peralatan yang bisa mereka gunakan untuk mengurangi bycatch, menjaga biodiversitas laut dan mendukung stok ikan yang sehat, sehingga semua menang, termasuk penyu."

Telaah diri kita baik-baik sebelum menyantap seafood di depan mata kita.
Bagaimana dengan Laut, Kita dan Indonesia?

Referensi:
Wallace et al. Global patterns of marine turtle bycatch. Conservation Letters, 2010; DOI: 10.1111/j.1755-263X.2010.00105.x


Kapal Cina penuh dengan penyu ditahan di Tarakan Kalimantan.
(Foto: www.wildlifeextra.com)

Jangan berisik di terumbu: Ikan menjauhi habitat baik mereka sebab polusi suara di laut, bahkan hingga kematian.

Meningkatnya polusi suara di lautan membuat ikan menjauh dari habitat yang sesuai bagi mereka, bahkan mungkin hingga kematian, menurut penelitian terbaru oleh tim Britania Raya bekerja di Great Barrier Reef.

Staghorn Damselfish
(Foto: aquarium.aquarioepeixes.com.br)

Setelah beberapa minggu berkembang di laut, bayi ikan tropis bergantung pada suara alam untuk mencari terumbu karang dimana mereka bisa bertahan dan berkembang. Namun, tim peneliti menemukan bahwa pengaruh singkat suara asrifisial (red: buatan) membuat ikan tertarik dengan suara yang tidak sesuai.

Pada penelitian sebelumnya, Dr Steve Simpson, Senior Researcher dari School of Biological Science - the University of Bristol, menemukan bahwa bayi ikan terumbu memanfaatkan bunyi-bunyian dari ikan lain, udang dan bulu babi sebagai patokan mencari terumbu karang. Dengan polusi suara dari kapal laut, pembangkit listrik tenaga angin dan kegiatan eksplorasi minyak yang meningkat, Steve kuatir bahwa perilaku alami ikan ini sedang terancam.

Ketika baru beberapa minggu umurnya, bayi ikan terumbu secara alami ditantang untuk mencari dan memilih habitat yang sesuai. Suara-suara terumbu memberikan informasi vital bagi mereka, namun mereka dapat belajar, mengingat dan tertarik dengan bunyi-bunyian yang salah, dan Kita bisa saja membawa mereka ke arah yang salah; ujar Steve.

Menggunakan perangkap cahaya malam bawah air, Steve dan timnya mengoleksi bayi Damselfish dari kawasan terumbu karang. Ikan-ikan tersebut dikumpulkan dalam tangki dengan speaker bawah air yang memainkan suara alami terumbu atau campuran nada-nada buatan. Malam berikutnya ikan dipindah dalam ruang pilah (semacam tabung panjang dengan beragam percabangan menuju akhir tabung dan ikan bisa bergerak dengan bebas memilih jalur akhir yang mereka kehendaki) dengan suara alami atau buatan di lantunkan. Semua ikan menyukai jalur yang menuju suara terumbu, namun hanya ikan yang telah dipengaruhi campuran nada buatan memilih jalur renang yang berbeda, lainnya cenderung menjauhi suara buatan tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan dapat belajar suara-suara baru dan mengingatnya beberapa jam kemudian, menghapus mitos memori-tiga-detik ikan, ujar Steve.

Salah satu kolaborator Steve, Dr Mark Meekan, menambahkan: Ini juga menunjukkan bahwa bayi ikan dapat membedakan suara, dan berdasarkan pengalaman mereka, menjadi tertarik pada suara yang telah mengganggu prilaku mereka pada saat malam terpenting dalam hidup mereka.

Dalam lingkungan yang berisik, perombakan prilaku alami dapat berdampak buruk pada suksenya populasi dan regenerasi stok ikan di masa mendatang.

Steve menambahkan bahwa: Suara yang dihasilkan kegiatan manusia telah meningkat secara dramatis dalam beberapa tahun kebelakang, sebab perahu mesin kecil, pelayaran, pengeboran, tongkang dan konstruksi laut, dan pengujian seismik yang ada saat ini bisa menyamarkan suara ikan dan petikan capit udang. Jika ikan tidak sengaja mengikuti suara yang salah, pemberhentian akhir mereka bisa jadi dekat dengan daerah konstruksi atau mengikuti arah kapal ke laut lepas.

Lalu, bagaimana menurutmu tentang berita ini untuk Laut dan Kita di Indonesia?

Referensi:
University of Bristol (2010, August 3). Human noise pollution in ocean can lead fish away from good habitats and off to their death. ScienceDaily. Retrieved August 5, 2010, from http://www.sciencedaily.com /releases/2010/08/100803212015.htm