Jumat, 02 Juli 2010

Pembangunan jembatan di Kalimantan mengancam hutan hujan tropis, mangrove dan terumbu karang (4)

Dari Jeremy Hance, Mongabay.com, 3 Januari, 2010


Salah satu sisi hutan Sungai Wain.

Rute alternatif.

Pembangunan jalan dan jembatan Pulau Balang tidak perlu terjadi. Menurut para konservasionis, rute alternatif yang lebih sederhana bisa terwujud yang juga tetap menjaga teluk, bakau, dan hutan. Rute alternatif juga rute yang lebih cepat bagi masyarakat untuk berkendara antara Balikpapan dan Penajam. Dibawah rencana saat ini, perjalanan antara Penajam dan Balikpapan jadi ditempuh 80 kilometer lebih jauh, yang juga lebih lama dibanding melalui fasilitas penyeberangan kapal feri yang saat ini sudah ada. Proyek alternatif ini membutuhkan jembatan dan jalanan dibangun di tepi paling selatan teluk, menjauhi kawasan mangrove dan hutan hujan tropis. Mungkin yang terpenting bagi para politisi adalah, sementara proyek alternatif ini akan memakan biaya lebih besar pada awalnya, jangka panjangnya akan lebih hemat.

"Tidak ada yang mencoba menghitung kerugian ekonomi akibat perombakan pulau Balang dan investasi besar yang akan dibayar pemerintah untuk memperbaiki kerusakan lingkungan yang diakibatkan proyek." ujar :hota.

Proyek alternatif kedua adalah tidak melakukan pembangunan jalan dan jembatan, melainkan dengan sederhana mengembangkan transportasi ferry antara Balikpapan dan Penajam bersamaan dengan pemutakhiran jalan yang sudah ada.

Meskipun proyek Jembatan Pulau Balang sudah melewati Analisa Dampak Lingkungan, Lhota berkomentar bahwa analisa tersebut jauh dari memuaskan.

"Asisten saya dan saya sendiri menghabisakan sebulan di kawasan tersebut secara sukarela mengumpulkan data untuk dimasukkan dalam ANDAL, namun tidak ada yang digunakan. Melihat data yang diambil, document ANDALtidak mengindahkan banyak ancaman utama bagi kawasan tersebut, seperti ancaman kebakaran hutan di HLSW, ancaman punahnya hutan mangrove akibat isolasi hutan dengan hutan lainnya dan banyak lagi. … Lebih lanjutnya, dokumen ANDAL tersebut sulit didapatkan (membutuhkan empat tahun bagi saya untuk mendapatkan kopi-ya dan hampir tidak ada aktivis lingkungan pernah mendapatkan akses ke dokumen tersebut) dan prakteknya juga tidak pernah dikonsultasikan ke publik…. Sudah jelas bahwa tujuan utama kajian ANDAL tersebut hanya sekedar memenuhi persyaratan hukum untuk memiliki dokumen ANDAL dan tidak untuk mengevaluasi analsisa dampak lingkungan proyek tersebut."



Salah satu sisi hutan Sungai Wain

Langkah maju: lokal vs propinsi dan pusat

Baru-baru ini, pemerintah likal, melihat banyak aspek negati dari proyek tersebut, telah menghindar dari mendukung Jembatan Pulau Balang. Sebaliknya mereka memberikan dukungan pada proyek jalan alternatif yang jauh tidak merusak lingkungan dan pilihan yang lebih baik bagi masyarakt.

Sebagaimana Ade Fadli menjelaskan: "masyarakat lokal hanya ingin mendapatkan fasilitas transportasi yang memadai."

Meskipun pemerintah propinsi dan pusat tepat menjadi suporter yang berlawanan, yang mampu mendorong proyek Jembatan Pulau Balang meskipun dengan kehawatiran dan penolakan dari pihak lokal. Ternyata dana pembangunan jembatan dan jalan sudah dijamin oleh investor dari Korea Selatan.

"Pemerintah propinsin dengan mudahnya menghiraukan masalah lingkungan, Mereka menganngap ada kebutuhan besar untuk mengembangkan transportasi antara Kalimantan Timur dan Selatan, yang sebenarnya juga benar, namun tidak menjelaskan mengapa memilih Jembatan Pulau Balang sebagai solusi jalan raya propinsi mengalahkan beberapa saran alternatif lainya," ujar Frederiksson.

"Alasan utama yang saya bisa lihat dari keinginan kuat untuk membangun rute jalan ini adalah panjangnya jalan yang dibangun (pengeluaran proyek yang besar) dan area terbesar yang tersedia untuk spekulasi harga tanah, yang telah berjalan sejak awal 1990 ketika pembangunan jalan pertamakali direcanakan / mulai dibangun. Sejumlah besar orang berpengaruh di tingkat propinsi dan pusat telah membeli lahan tanah dan akan melihat keuntungan besar ketika jalan ini terwujud," ujar Frederiksson.

"Saya saat ini tidak tahu siapa saja yang telah membeli tanah sepanjang kawasan pembanugnan jalan ini namun orang-orang ini sangat berpengaruh, dan, tentunya, pemangku azas yang sangat berambisi. Korupsi adalah bagian tak terpisahkan dari kultur orang Indonesian dan rumor lokal telah menjelaskan apa dibalik keputusan-keputusan pemerintah selama ini," seperti apa yang dikatakan nara sumber yang dirahasiakan, dan menambahkan, "tentunya, rumor ini tidak bisa dibuktikan."

Pada akhirnya membangun jalan akan menjadi sebuah kehilangan besar dalam daftar besar hilangnya keanekaragaman hayati dan hutan Indonesia. Negara kepualuan ini - yang memiliki laju deforestasi terbesar di dunia, kehilangan hampir 25 persen hutanny adlam 15 tahun - juga pelepas emisi karbon ketiga terbesar di dunia setelah Cina dan Amerika Serikat yang sebagian besar terkait dengan deforestasi. Sebagai tambahan, pulau Borneo telah kehilangan sekitar 50 persen tutupan hutan sejak 1970-an, meskipun dengan meningkatnya pemahaman akan pentingnya jasa ekologis hutan hujan tropis seperti untuk pengendapan karbon (carbon sequestration), preservasi keanekaragaman hayati, dan tangkapan air tawar.

Meskipun Indonesia memiliki sejarah buruk dalam lingkungan, para konservasionis berharap kali ini pemerintah propinsi dan pusat akan sadar dan terbuka, menjamin bahwa pelestarian hutan - termasuk mangrove dan teluk - adalah cara terbaik kedepannya dalam hal ekonomi dan kelestarian lingkungan.


Gibbon borneo. Foto: Petr Colas.

Gibbon borneo, salah satu satwa HLSW yang terancam punah di daftar merah IUCN


Dugong, salah satu satwa HLSW yang juga terancam punah.

1 komentar:

pelangi anak mengatakan...

SAATNYA RAKYAT BERSATU KEMBALI MENENTANG PENYIMPANGAN PARA PENGAMBIL KEBIJAKAN...

DI SINI, PERAN LSM SANGAT SIGNIFICAN DALAM MENGORGANIZIR WARGA UNTUK MEMPERJUANGKAN NASIB ANAK-CUCUNYA KELAK...

SELAMAT BERJUANG KAWAN!