Kamis, 02 Desember 2010

Diver sejati: Penyu Belimbing yang pandai mengatur daya apung tubuh.

Penyu Belimbing sedang merapat di pantai.
Foto: endangered.nothingbut830.com

Penyu Belimbing memiliki kemampuan selam yang unik. Mereka dengan rutin menyelam hingga kedalaman ratusan meter dan diketahui hingga mencapai 1250 meter. Penyu Belimbing diduga menempuh kedalaman untuk menghindari predator, mencari mangsa dan menghindari panas di kawasan tropis. Namun, kemampuan mereka dalam mengatur daya apung / buoyancy (baca: 'boyansi') masih dipertanyakan.

Penyu Belimbing menuju ke kedalaman


Sabrina Fossette dari Swansea University menjelaskan bahwa tidak ada orang mengetahui sebelumnya bagaimana penyu menyelam: Apakah mereka berenang/mengayuh langsung ke kedalaman, ataukah mereka menurunkan daya apung mereka dan turun layaknya batu?. Penasaran akan cara penyu Belimbing turun ke kedalaman, Rory Wilson dan kolaborator riset, Molly Lutcavage, mencoba menempatkan data logger (alat perekam kondisi lingkungan) pada penyu Belimbing betina saat mereka merapat untuk bertelur di St Croix, kepulauan US Virgin. Mereka menemkan bahwa penyu Belimbing megatur daya apung dengan menyesuaikan jumlah udara yang mereka ambil sesaat sebelum turun ke bawah.

Penemuan mereka diterbitkan di Journal of Experimental Biology, 12 November 2010 lalu. " Sangat mengagumkan ketika anda melihat penyu Belimbing keluar dari air, bagaikan dinosaurus," ujar Fossette, sesaat pulang dari mengumpulkan data di Samudera Hindia. Fossette, Andy Myers, Nikolai Lebssch dan Steve Gardner menempelkan akselerometer pada lima betina saat mereka lepaskan telur. 8-12 hari kemudian untuk penyu-penyu kembali kepantai lagi untuk melepaskan telur lagi dan kembali ke laut dan saat itulah akselerometer di ambil kembali. Mereka menemukan bahwa hanya dua data dari lima rekaman akselerometer yang bisa diolah. Dari alat perekam data yang berfungsi didapatkan catatan 81 selaman dan setelah dianalisa tim, kedalaman tercatat mulai 64 meter hingga 462 meter.

Penyu Belimbing sedang menetaskan telur di pantai.

Kembali di Universitas Swansea, tim riset menganalisa data temperatur dan tekanan air laut serta akselerasi saat renang yang dicatat oleh logger. Fossette menjelaskan bahwa saat di kedalaman penyu Belimbing juga berenang dan untuk pertamakalinya aktifitas lokomotor penyu saat selam dalam bisa tercatat.

Dari data akselerasi, gerakan penyu Belimbing saat menyelam ke kedalaman menukik dengan sudut rata-rata 41 derajat. Dalam awalan renang-nya, kayuhan lengan sirip penyu bisa membawa penyu melaju selama 3 detik. Namun ketika mereka turun semakin dalam lagi, tenaga kayuhan mereka berkurang hingga tidak berenang sama sekali sesaat daya apung mereka negatif dalam kedalaman maksimum yang mereka capai. Tim riset menemukan bahwa penyelam terdalam memiliki daya apung yang juga lebih lama juga dan cenderung memulai meluncur (gliding) ketika memasuki kawasan paling dalam. Tim riset menduga bawha penyu mengatur daya apung mereka sebelum turun menyelam dengan mengeatur jumlah udara yang mereka ambil di permukaan. Fossette juga mengatakan bahwa dari 80% dari selaman penyu penetas ke dasar, merekacenderung meluncur ketimbang berenang, yang diduga untuk menyimpan energi yang juga penting untuk produksi telur.

Penyu Belimbing kembali kelaut seusai melepaskan telur.

Tim riset saat ini tertarik untuk melihat pola selam Penyu Belimbing di kawasan ruaya mereka di laut Atlantik Utara. Fossette menerangkan juga bahwa telur penetas kehilangan berat badan, sedang kan penyu peruaya cenderung menambah berat badan dari makan; dan dua hal ini mempengaruhi daya apung dan prilaku selam masing-masing penyu. Namun, untuk penyu peruaya, penempelan logger (tagging) pada penyu seberat 400 kilogram dilakukan langsung di laut lepas, tidak bisa di pantai sebagaimana pada penyu penetas, dan itu satu tantangan teknis terbesar dalam penelitian mereka.



Referensi

S. Fossette, A. C. Gleiss, A. E. Myers, S. Garner, N. Liebsch, N. M. Whitney, G. C. Hays, R. P. Wilson, M. E. Lutcavage. Behaviour and buoyancy regulation in the deepest-diving reptile: the leatherback turtle. Journal of Experimental Biology, 2010; 213 (23): 4074 DOI: 10.1242/jeb.048207

Sabtu, 13 November 2010

Masa kelam terumbu karang: Garis besar solusi untuk terumbu karang dunia yang terus menghilang.

Terumbu karang dunia sedang bermasalah. Sebab berbagai faktor seperti pengasaman laut, naiknya temperatur akubat perubahan iklim, penangkapan ikan berlebih dan polusi - tutupan karang dunia telah munurun hingga sekitar 125.000 kilometer persegi dalam kurun waktu 50 tahun kebelakang. Banyak biolog laut, seperti Charlie Veron, mantan kepala peneliti di Australian Institute of Marine Science, memprediksi bahwa terumbu karang akan hilang dalam satu abad kedepan. Tahun 2010 ini-pun, pemutihan karang masal, dimana karang kehilangan protozoa simbiotik-nya dan semakin rentan akan penyakit dan kematian - terjadi di sepanjang pesisir Indonesia, Filipina, dan beebrapa pulau Karibia. Namun, sebuah artikel jurnal di Trends in Ecology and Evolution mencoba mengangkat srategi untuk mengatasi keterpurukan terumbu karang, termasuk beberapa kisah sukses, untuk menyelamatkan mereka.


Atas: Tingginya dan seringnya gangguan lokal dan global pada terumbu memicu lebih seringnya pemutihan karang serta penurunan terumbu karang yang serius di penjuru dunia. Bawah: Terumbu karang yang sehat, seperti di Great Barrier Reef, juga menampung keanekaragaman hayati yang tinggi.
Foto: Atas: © Bruce Carlson; Bawah: © Great Barrier Reef Marine Park Authority


"Saat ini kita SUDAH punya pemahaman ilmiah yang cukup tentang penyebab penurunan terumbu - yang kita perlukan saat ini adalah gambaran yang lebih jelas untuk menolong mereka berbalik arah menuju keadaan optimal mereka di masa lalu, melalui pemulihan," ujar penulis utama, Terry Huges dari Australian Research Council Centre of Excellence for Coral Reef Studies di James Cook University.

Berbagai riset dunia telah menunjukkan bahwa terumbu karang memiliki daya lenting (resiliensi) dan mampu pulih dari fenomena gangguan skala besar.

Sebagai contoh, dalam artikel dijelaskan bahwa pada situs terumbu skalal lokal di pulau Heron di Great barrier Reef hampir setiap dekade secara rutin kehilangan hampir seluruh karang-nya akibat badai. Namun tetap memiliki kemampuan pemulihan yang cukup cepat dan kecenderungan struktur terumbu berubah dan berbeda jauh dari keadaan terumbu di masa lalu sangat kecil.

Namun, dampak manusia memiliki pengaruh berbeda dibanding dampak alam, seperti badai. Terumbu karang saat in bukan lagi menghadapi gangguan atau bencana alami yang datang, mereda, dan lewat. Namun, pengaruh manusia yang ditulis sebagai "dampak manusia yang kronis", merupakan gangguan yang konstan dan bertahan dalam kurun waktu lama. Dampak manusia saat ini membuat kemampuan alami karang untuk pulih tidak bisa membandingi 'dentuman' kematian karang yang terus terpicu akibat gangguan manusia.


Mekanisme pemutihan karang. Keadaan normal (kiri) dimana alga ber-sel satu (zooxanthellae) berada di lapisan jaringan karang. Keadaan terganggu (tengah): zooxanthellae lepas dari lapisan jaringan karang. Keadaan sekarat: Karang menuju kematian sebab jaringan karang tidak tumbuh tanpa adanya zooxanthellae, dan alga halus (alga filamen) bisa tumbuh di permukaan kerangka karang yang mati. Proses ini bisa terjadi pada ribuan koloni, menyebabkan fenomena pemutihan karang masal.
Gambar: www.solcomhouse.com/coralreef.htm



"Dalam satu abad kebelakan, banyak terumbu-dekat-pantai di bagian dalam Great Barrier Reef telah tertutupi sedimen dan makroalga, dan menunjukkan sedikit kemampuan atau indikasi akan pemulihan menuju kondisi semula yang 'kaya karang", tulis para peneliti.



Kiri: Terumbu yang memiliki resiliensi / daya lenting tinggi dengan struktur yang kaya akan karang hidup keras. Kanan: Terumbu yang sudah mengalami gangguan dimana struktur sudah berubah dimana komposisi makroalga melampaui jumlah karang keras. Membantu terumbu berbalik dari kanan ke keadaan di kiri adalah salah satu tugas kita dalam mengelola terumbu saat ini.
Foto: Kiri: © E. Turak; Kanan: © A. Hoey


Terry Hughes berkata, "kunci untuk menyelamatkan terumbu terletak di dalam pemahaman kita mengapa beberapa terumbu mengalami degenerasi menjadi hamparan rumput laut dan tidak bisa pulih lagi - kejadian yang disebut "perubahan fase" -; sementara di terumbu lain karang-nya mampu puli kembali dengan sukses - sebuah kemampuan yang disebut daya lenting atau resiliensi.

Para peneliti juga mengangkat beberapa tempat dimana terumbu karang yang berbalik pulih akibat adanya usaha pencegahan dampak manusia terkait penurunan karang di masa lalu. Sebagai contohnya, mengakhiri buangan limbah di Teluk Kanehoe di Hawaii telah memungkinkan karang untuk pulih; kembalinya populasi bulu babi di beberapa bagian kepulauan Karibia telah memungkinkan karang untuk bangkit 'melawan' rumput laut; dan di Filipina regulasi yang lebih efektif untuk penangkapan ikan berlebih telah memungkinkan ikan kakatua untuk pulih kembali - sejenis ikan terumbu yang membantu karang pulih dengan memakan rumput laut (makroalga) kompetitor karang.



Ikan terumbu herbivora: (Arah jarum jam dari pojok atas-kiri) Ikan Kakatua, Surgeonfish, Rudderfish, Angelfish, Damselfish dan, Rabbitfish. Ikan-ikan ini berperan sebagai 'tukang rumput' di terumbu, memakan alga yang tumbuh diantara karang sehingga jumlah alga terkendali dan karang dapat ruang dan cahaya untuk tumbuh. Jika ikan ini dihidangkan  di suatu kawasandan disantap, berarti pertanda ikan perdator ekonomis sudah mulai habis ditangkap, dan ikan herbivora pun jadi incaran, kemampuan pemulihan terumbu pun terancam dan semakin rentan akan gangguan lainya. PERHATIKAN JENIS IKAN YANG ANDA SANTAP, JANGAN MAKAN IKAN-IKAN TERUMBU INI.
Foto: © Garry allen.

"Krisis terumbu karang dunia umumnya terkait juga dengan krisis kepemerintahan, sebab kita sudah tau apa yang perlu dilakukan, namun aksi atau tindakan (untuk mengurangi polusi, menekan emisi gas rumah kaca, mencegah penangkapan berlebih dan merusak) tidak dilakukan," ujar Terry Hughes.

Studi tersebut juga menyarankan agar berbagai pemerintahan untuk melibatkan para peneliti yang memahami studi daya lenting terumbu karang dalam pengembangan kebijakan terkait penyelamatan terumbu karang. Sebagai tambahan, pemerintah sebaiknya fokus dalam pendidikan masyarakat lokal, perubahan mekanisme tata guna lahan dalam mencegah lepasan polusi, memperkuat hukum untuk melindungi terumbu karang, memperbaiki pengaturan penangkapan berlebih, dan bekerja dengan institusi internasional, seperti Convention on International Trade in Endangered Species (CITES), dalam penyediaan perlindungan yang lebih baik bagi karang yang terancam punah.

Namun tentunya, satu bongkahan batu besar lainnya adalah perubahan iklim. Dalam masa pengasaman laut saat ini, sebab meingkatnya emeisi karbon serta menghangatnya temperatur laut - akan membawa keterpurukan terumbu karang meskipun tindakan yang mendukung daya lenting karang dilakukan.

Dalam perspektif global para peneliti mengatakan juga bahwa pemerintah negara dunia juga harus "menghadapi perubahan iklim sebagai isu utama yang paling penting bagi pengelolaan dan konservasi terumbu karang dengan menekan tajam emisi gas rumah kaca."

Terry Hughes menambahkan, "tanpa tindakan yang segera, pemanasan global dan pengasaman laut dalam waktu kedepan yang belum terlihat akan menjadi jaminan kuat gagalnya terumbu karang. Meskipun memungkinkan sekali untuk memicu pemulihan terumbu karang seusai rentetan pemutihan karang melalui tindakan lokal seperti menjaga dan meningkatkan kualitas air dan melindungi herbivora terumbu, intervensi semacam ini tidak akan menjadikan terumbu 'tahan-perubahan-iklim'."

Namun, pesan di akhir artikel tidak memberikan harapan yang kelam dan terpuruk bagi karang, melainkan: "the world's coral reefs can still be saved… if we try harder".

Terumbu karang masih bisa diselamatkan… jika kita berusaha lebih kuat lagi.

Referensi

Terry P. Hughes, Nicholas A.J. Graham, Jeremy B.C. Jackson, Peter J. Mumby, and Robert S. Steneck. Rising to the challenge of sustaining coral reef resilience. Trends in Ecology and Evolution Vol.25 No.11. doi:10.1016/j.tree.2010.07.011.

Minggu, 22 Agustus 2010

Penyu Mukomuko Terancam Abrasi


Jejak penyu di pantai seusai bertelur di malam hari.

Bengkulu (ANTARA News) - Habitat penyu langka di Desa Air Hitam, Kecamatan Pondok Suguh, Kabupaten Mukomuko terancam digerus abrasi pantai akibat kawasan cagar Alam sekitar itu rusak.


"Hutan cagar alam di wilayah itu luas seluruhnya 85 hektare sudah dirambah warga mencapai 50 hektare dan dijadikan kebun kelapa sawit," kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Bengkulu Andi Basrah didampingi Kabau TU Supartono, Minggu.

Sisa 35 hektare itu sekarang masih digerogoti perambah di beberapa desa antara lain warga Desa Air Hitam dan Sinar Laut setempat.

Kawasan hutan cagar alam seluas 85 Hektare itu kembali akan dihijaukan karena ancaman abrasi pantai terus mengerus itu, sehingga akan mengganggu habitat dan budidaya penyu langka setempat.

Upaya menghijaukan kembali kawasan itu BKSDA sudah menurunkan tim terpadu untuk menebangi ribuan pohon kelapa sawit perambah dalam kawasan cagar alam tersebut.

Tim sudah diturunkan mulai, Sabtu (21/8) sampai saat ini sudah berhasil menebang sekitar 400 batang kelapa sawit disepanjang tapal batas dengan lahan warga setempat.

Penebangan pohon kelapa sawit tersebut disaksikan warga, kelapa desa, camat dan Asisten I Setwilda Kabupaten Mukomuko.

Tahap pertama ini dilakukan penebangan tiga jalur pada batas, berikutnya akan dilanjutkan setelah bulan puasa, namun sebelumnya penebangan tahap kedua seluruh perambah dalam kawasan itu akan diperiksa di Polda Bengkulu.

"Nanti akan diberikan solusinya apakah perambah bersedia menanam pohon pelindung sekaligus memeliharanya sampai besar, atau mau diproses hukum dan penebangan dilanjutkan tim terpadu," kata Andi.

Tim terpadu sebanyak 150 orang dari petugas Polisi kehutanan, anggota Polda Bengkulu dan TNI itu, melibatkan 40 pasang operator gergaji mesin (chainsaw).

"Kami tidak akan berikan kesempatan bagi perambah untuk memelihar tanaman kelapa sawit tersebutm apalagi mau membuka lahan baru,"katanya.

BKSDA Bengkulu juga menertibkan ribuan perambah dalam kawasan lahan konservasi seluas 45 ribu hektare yang saat ini sudah 75 persen rusak.

Razia berikutnya akan melibatkan tenaga gajah untuk mencabut tanaman perambah dan merobohkan pondok mereka, "bila perlu pondok-pondok itu dibakar seperti dilakukan dalam kawasan taman wisata alam Bukit Kaba Rejang lebong belum lama ini," katanya.
(ANT/A038)

Jumat, 20 Agustus 2010

'Benua' sampah plastik di Samudera Atlantik Utara.

(Gambar: www.inl.co.nz)

Hamparan luas sampah plastik untuk pertama kalinya ditemukan di Samudera Atlantik utara. Kawasan sampah ini lebh besar lagi dibanding 'benua sampah' yang sudah ada di Samudera Pasifik. Satu lagi keadaan darurat yang Kita berikan bagi satwa Laut dunia.

Sampah plastik yang di temukan di sekitar timur Atlantik hingga kawasan bermuda, terdiri dari serpihan yang hanya beberapa milimeter saja ukurannya. Namun, konsentrasi sampah yang luar biasa tingginya lebih dari mencemaskan bagi kehidupan Laut disana.

Dengan jaring bermata halus ditarik kapal peneliti, ilmuwan mengumpukan lebih dari 64.000 buah plastik dari 6.100 lokasi di laut dari survey yang berlangsung 22 tahun. Konsentrasi tertinggi terletak di 32 derajat lintang utara, namun membentang 500 mil arah utara dan selatan.

Kawasan 'sup plastik' di Samudera Atlantik
(Gambar: www.independent.co.uk)

Kara Lavender Law dare the Sea Education Association di Woods Hole, Massachusetts, AS, berkata bahwa besarnya 'bercak sampah' di Atlantik hampir sama dengan yang di Pasifik, dan sirkulasi arus Gyre Pasifik Utara menjebak sampah di areal besar utara khatulistiwa.

"Samudera Pasifik juga dapat perhatian lebih besar akan akumulasi plastiknya, namun kita tidak begitu banyak tahu juga akan Pasifik sehingga sulit untuk membandingkannya dengan Atlantik dalam ukuran 'bercak sampah", ujar Dr Lavender Law. "Namun untuk konsentrasi sampah, kedua lokasi tersebut sepadan tingginya".

"Untuk pertama kalinya kami bisa melihat batasan utara-selatan di kawasan penumpukan plastik ini. Kami juga menampilkan kumpulan data yang paling besar tentang sampah plastik laut di kawasan Samudera." dia menambahkan. Jaring pengumpul sampah yang digunakan memiliki mata jaring 0.3mm, jadi sampah yang didata berukuran lebih besar dari in. "Kebanyakan serpihan terkumpul lebih kecil dari ukuran penghapus di ujung pinsil anda. Dan sampah ini adalah fragmen / serpihan dari bagian benda yang lebih besar, dan asalnya juga kita tidak tahu."

Kebanyakan plastik adalah polyethylene atau polypropylene, yang lebih ringan berat jenisnya dibanding air laut, sehingga terapung dekat dengan permukaan air. Namun, jenis plastik lain yang lebih beray mungkin juga telah tenggelam ke dasar dan tidak dijumpai.

Lokasi sampling plastik antara tahun 1991-1995 dan 2004-2007
(Gambar: Morét-Ferguson, S, et al. 2010) 

Penelitian ini menemukan bahwa konsentrasi partikel plastik yang tertangkap di jaring cenderung konstan, sejak dimulainya survei di tahun 1986 - namun bukan berarti masalah sampah di samudera ini terkelola. "Tampaknya memang konstan, namun kita juga tidak tahu apakah ini semakin buruk. Sebab, kita hanya mengukur partikel plastik lebih besar dari sepertiga milimeter, dan yang di permukaan saja."

"Alasan yang mendukung adalah, 'larutan' plastik halus yang melewati jaring tidak terkumpulkan oleh kami. Dan plastik halus ini masih bisa terkonsentrasi secara luas di lautan."


"Satu alasan lain adalah, pada serpihan/ bongkahan plastik, pertumbuhan biologis mungkin terjadi dan melingkup plastik sehingga plastik berat dan tenggelam atau berada di bawah permukaan, sehingga tidak terdata kami."

Serpihan kecil plastik membawa ancaman lebih besar bagi satwa laut, dibanding bongkahan besar yang juga bisa menjerat satwa seperti penyu dan burung laut. Kita tahu bahwa serpihan halus plastik bukan makanan hewan laut, dan apay yang terjadi bagi mereka yang menyantapnya - yang juga kita santap kemudian - jelas diluar kemampuan alami mereka.

Referensi
Morét-Ferguson, S, Law, K, Proskurowski, G, Murphy, E, Peacock, E & Reddy, C 2010, 'The size, mass, and composition of plastic debris in the western North Atlantic Ocean', Marine Pollution Bulletin.

Sampah plastik di permukaan laut.
(Foto: www.ficsu.org)

Penyu dan plastik.


Kawasan 'sup plastik' di Samudera Pasifik.


Kamis, 05 Agustus 2010

Emisi karbon mengancam populasi ikan.

Emisi karbon dioksida manusia bisa berdampak signifikan bagi populasi ikan dunia, menurut penelitian terkini di Australia.

Akibat kandungan CO2 yang meningkat, juvenil ikan berenang menjauhi habitat terumbu-nya sehingga resiko kematian akibat dimakan predator lebih tinggi. 
(Foto: Dr Mark McCormick, ARC Centre of Excellence for Coral Reef studies)

Bayi ikan dengan bisa menjadi santapan mudah bagi predator saat lautan dunia menjadi semakin asam akibat CO2 yang diserap dari aktifitas manusia.

Dalam serangkaian eksperimen yang dilaporkan dalam Proceedings of the National Academy of Science (PNAS), tim riset menemukan bahwa sejalan dengan meningkatnya tingkat karbon dan meng-asam-nya lautan, tingkah laku bayi ikan berubah dramatis - dalam hal berkurangnya peluang kelulushidupan sebesar 50 hingga 80 persen.

"Ketika CO2 meningkat di atmosfir dan larut dalam lautan, air menjadi sedikit lebih asam. Pada akhirnya ini akan mencapai titik dimana indera penciuman dan tingkah laku larva ikan berubah secara signifikan," ujar Professor Philip Munday dari the Australian Research Council's Centre of Excellence for Coral Reef Studies (CoECRS) di James Cook University.

"Bukannya menghindari predator, mereka bisa menjadi tertarik dengan predator. Larva ikan tersebut tampaknya kehilangan kewaspadaan alamiahnya dan mulai mengambil resiko besar, seperti berenang ke lautan lepas -- dengan konsekuensi yang mematikan tentunya."

Dr Mark Meekan dari the Australian Institute of Marine Science, salah satu penulis artikel jurnal tersebut, berkata bahwa perubahan tingkah laku ikan bisa memberikan implikasi serius terhadap keberlanjutan populasi ikan sebab lebih sedikit bayi ikan yang bisa bertahan hidup untuk regenerasi populasi dewasa.

"Setiap kita menyalakan mobil atau lampu, CO2 dihasilkan dan diserap lautan, pada akhirnya membuat laut sedikit lebih asam. pH lautan telah menurun 0.1 satuan dan bahkan bisa lebih lagi hingga 0.3 - 0.4 satuan jika kita terus melepaskan CO2 dalam laju yang meningkat saat ini.

"Kita sudah tahu bahwa ini akan berdampak yang tidak diinginkan bagi karang, hewan laut bercangkang, plankton dan organisme yang memiliki pengapuran dalam rangka tubuhnya. Sekarang kita mulai tahu bahwa keadaan ini juga bisa berdampak pada biota laut lainnya, sebagaimana pada ikan."

Penelitian sebelumnya dari Prof. Munday dan rekan-rekan menemukan bahwa bayi clownfish 'Nemo' tidak bisa sulit dalam navigasi pulang ke habitatnya dalam kondisi laut yang lebih asam. Experimen terkininya mencakup beragam spesies ikan dan menunjukkan bahwa air laut yang ter-asidifikasi menghasilkan perubahan yang membahayakan dalam tingkah laku ikan."

"Jika manusia terus membakar batubara dan minyak dalam laju saat ini, tingkat CO2 atmosfir bisa mencapai 750 - 1000 bagian persejuta di akhir abad ini. Keadaan ini bisa mengasamkan laut lebih cepat dari yang sudah terjadi dalam kurun 650.000 tahun ke belakang.

"Dalam experimen ini, kami menggunakan air laut yang dikondisikan sebagaimana keasaman di akhir abad - dalam situasi kita yang tidak melakukan apa-apa dalam mengurangi emisi. Bayi ikan kami kondisikan dalam air laut tersebut, dalam aquarium, dan dikembalikan ke laut untuk diamati bagaimana tingkah laku mereka setelah itu.

"Ketika kami kembalikan ke terumbu, kami menemukan bahwa mereka berenang menjauhi sarang/tempat berlindungnya mereka dan kemungkinan kematian mereka lima hingga delapan kali lebih tinggi dibanding bayi ikan normal," ujar Professor Munday.

Beliau menambahkan bahwa, sebagai catatan, dampak ini bisa terjadi baru dari pemanasan global saja, sebagai konsekuensi langsung emisi karbon manusia.

Tim peneliti menyimpulkan bahwa, "Hasil kami menunjukkan bahwa tambahan CO2 yang diserap lautan berpotensi dalam melemahkan kesuksesan rekrutmen ikan dan secara langsung berdampak bagi keberlangsungan populasi ikan di masa depan."

Prof. Munday menambahkan, dalam laporan tahun 2008 tentang status perikanan dunia oleh UN-FAO bahwa, "potensi maksimum ikan liar yang bisa ditangkap dari lautan saat ini sudah tercapai" Jika Kita menambah dampak pengasaman laut dan dampak berubahan iklim lainnya, berarti ada alasan kuat Kita perlu cemas akan habisnya cadangan ikan dunia dimasa depan dan jumlah sumber pangan yang bisa kita dapat dari laut."

Referensi:

Philip L. Munday, Danielle L. Dixson, Mark I. McCormick, Mark Meekan, Maud C.O. Ferrari and Douglas P. Chivers. Replenishment of fish populations is threatened by ocean acidification. PNAS, July 6, 2010 DOI: 10.1073/pnas.1004519107

Jutaan penyu diperkirakan telah mati akibat perikanan komersil dunia.

Jumlah penyu yang terjerat oleh alat tangkap ikan komersil dalam 20 tahun kebelakang mungkin telah mencapai jutaan, menurut studi peer-review yang mengkompilasi data bycatch (tangkapan sampingan) penyu dari perikanan gillnet (jaring insang), trawl (pukat) dan longline (rawai) di dunia.

Penyu ikut tertangkap.
(Foto: www.endoverfishing.org)

Studi tersebut dipublikasikan online tanggal 6 April di Jurnal Conservation Letters, menganalisa data yang dikumpulkan dari beberapa artikel jurnal ilmiah, laporan pemerintah, laporan teknis dan proceeding simposia yang diterbitkan antara tahun 1990 hingga 2008. Semua data berdasarkan pengamatan langsung lapangan atau wawancara dengan nelayan. Studi ini tidak mencakup data dari perikanan rekreasi.


'Pesta' penyu akibat gillnet.


(Photo © Projeto Tamar Brazil-Image Bank)


Enam dari tujuh spesies penyu dunia saat ini terdaftar sebagai vulnerable (rentan), endangered (terancam punah), atau critically endangered (kritis terancam punah) dalam IUCN Red List of Threatened Species.

"Pengamatan lapangan langsung dan wawancara dengan nelayan mengindikasikan 85.000 penyu telah terjerat antara 1990 dan 2008. Namun, sebab laporan ini hanya mewakili kurang dari satu persen armada perikanan yang ada didunia, belum lagi dengan sedikit atau bahkan tidak ada informasi dari perikanan skala kecil di penjuru dunia, kami mengestimasi bahwa total sebenarnya setidaknya dua digit lebih tinggi lagi;" ujar Bryan Wallace, penulis utama dari artikel ilmiah baru ini.

Wallace adalah penasehat senior untuk the Sea Turtle Flagship Program di Conservation International dan asisten professor di Nicholas School of the Environment, Duke University.

Ulasan data global mereka mengungkap bahwa laju bycatch tertinggi yang dilaporkan dari perikanan longline datang dari kawasan Baja California, Meksiko; laju tertinggi untuk perikanan gillnet terjadi di kawasan Adriatik Utara laut Mediterania dan untuk trawl laju tertinggi terjadi di lepas semenanjung Uruguay.


'Pesta' penyu akibat longline.
(Photo © Projeto Tamar Brazil-Image Bank)


Ketika laju bycatch dan jumlah aktifitas perikanan yang teramati untuk ketiga jenis alat tangkap digabungkan dan di-rangking untuk semua kawasan, empat kawasan muncul sebagai prioritas konservasi utama: laut Pasifik Timur, Mediterania, Atlanik Barat Daya dan Atlantic Barat Laut.

"Meskipun angka kami hanya estimasi, mereka tetap menunjukkan pentingnya keberadaan panduan atau aturan main dalam peralatan dan praktik perikanan untuk membantu mengurangi dampak negatif ini", ujar Bryan.

Pencegahan efektif untuk mengurangi bycatch penyu termasuk penggunaan kait lingkar dan umpan ikan dalam perikanan longline, dan Turtle Excluder Device (TED) di trawling. Kebanyakan dari modifikasi alat tangkap yang efektif malahan dikembangkan oleh nelayan sendiri.


Cara kerja TED dalam membuat ruang bagi penyu untuk 'kabur'.
(Foto: danamccauley.wordpress.com)



Bryan berkata bahwa perikanan longline Hawaii dan perikanan Australia telah mengurangi bycatch secara signifikan melalui hubungan kerja yang dekat antara nelayan dengan pemerintah pengelola, penggunaan pengamat di geladak dan modifikasi alat wajib dan inovasi teknologi. TurtleWatch, sebuah database real-time menyediakan update harian untuk temperatur air dan kondisi laut lainnya yang menandakan dimana penyu bisa ditemui, telah memandu nelayan dalam menghindari penempatan alat tangkap di lokasi tersebut.

Pendekatan lainnya, seperti penetapan kawasan perlindungan laut dan penetapan quota tangkap, juga mengurangi bycatch, menjaga biodiversitas laut dan memicu stok ikan yang sehat - dalam beberapa kasus, ujar Bryan.

Penyu melepaskan diri dari pukat melalui TED.
(Vidio: NOAA office of education)

Bycatch dari perikanan adalah ancaman akut bagi populasi penyu dunia saat ini. Banyak hewan laut mati atau terluka akibat interaksi ini," ujar Bryan. "Namun pesan kami intinya bahwa ini bukan kehilangan semata. Pengelola dan nelayan bisa memilik peralatan yang bisa mereka gunakan untuk mengurangi bycatch, menjaga biodiversitas laut dan mendukung stok ikan yang sehat, sehingga semua menang, termasuk penyu."

Telaah diri kita baik-baik sebelum menyantap seafood di depan mata kita.
Bagaimana dengan Laut, Kita dan Indonesia?

Referensi:
Wallace et al. Global patterns of marine turtle bycatch. Conservation Letters, 2010; DOI: 10.1111/j.1755-263X.2010.00105.x


Kapal Cina penuh dengan penyu ditahan di Tarakan Kalimantan.
(Foto: www.wildlifeextra.com)

Jangan berisik di terumbu: Ikan menjauhi habitat baik mereka sebab polusi suara di laut, bahkan hingga kematian.

Meningkatnya polusi suara di lautan membuat ikan menjauh dari habitat yang sesuai bagi mereka, bahkan mungkin hingga kematian, menurut penelitian terbaru oleh tim Britania Raya bekerja di Great Barrier Reef.

Staghorn Damselfish
(Foto: aquarium.aquarioepeixes.com.br)

Setelah beberapa minggu berkembang di laut, bayi ikan tropis bergantung pada suara alam untuk mencari terumbu karang dimana mereka bisa bertahan dan berkembang. Namun, tim peneliti menemukan bahwa pengaruh singkat suara asrifisial (red: buatan) membuat ikan tertarik dengan suara yang tidak sesuai.

Pada penelitian sebelumnya, Dr Steve Simpson, Senior Researcher dari School of Biological Science - the University of Bristol, menemukan bahwa bayi ikan terumbu memanfaatkan bunyi-bunyian dari ikan lain, udang dan bulu babi sebagai patokan mencari terumbu karang. Dengan polusi suara dari kapal laut, pembangkit listrik tenaga angin dan kegiatan eksplorasi minyak yang meningkat, Steve kuatir bahwa perilaku alami ikan ini sedang terancam.

Ketika baru beberapa minggu umurnya, bayi ikan terumbu secara alami ditantang untuk mencari dan memilih habitat yang sesuai. Suara-suara terumbu memberikan informasi vital bagi mereka, namun mereka dapat belajar, mengingat dan tertarik dengan bunyi-bunyian yang salah, dan Kita bisa saja membawa mereka ke arah yang salah; ujar Steve.

Menggunakan perangkap cahaya malam bawah air, Steve dan timnya mengoleksi bayi Damselfish dari kawasan terumbu karang. Ikan-ikan tersebut dikumpulkan dalam tangki dengan speaker bawah air yang memainkan suara alami terumbu atau campuran nada-nada buatan. Malam berikutnya ikan dipindah dalam ruang pilah (semacam tabung panjang dengan beragam percabangan menuju akhir tabung dan ikan bisa bergerak dengan bebas memilih jalur akhir yang mereka kehendaki) dengan suara alami atau buatan di lantunkan. Semua ikan menyukai jalur yang menuju suara terumbu, namun hanya ikan yang telah dipengaruhi campuran nada buatan memilih jalur renang yang berbeda, lainnya cenderung menjauhi suara buatan tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan dapat belajar suara-suara baru dan mengingatnya beberapa jam kemudian, menghapus mitos memori-tiga-detik ikan, ujar Steve.

Salah satu kolaborator Steve, Dr Mark Meekan, menambahkan: Ini juga menunjukkan bahwa bayi ikan dapat membedakan suara, dan berdasarkan pengalaman mereka, menjadi tertarik pada suara yang telah mengganggu prilaku mereka pada saat malam terpenting dalam hidup mereka.

Dalam lingkungan yang berisik, perombakan prilaku alami dapat berdampak buruk pada suksenya populasi dan regenerasi stok ikan di masa mendatang.

Steve menambahkan bahwa: Suara yang dihasilkan kegiatan manusia telah meningkat secara dramatis dalam beberapa tahun kebelakang, sebab perahu mesin kecil, pelayaran, pengeboran, tongkang dan konstruksi laut, dan pengujian seismik yang ada saat ini bisa menyamarkan suara ikan dan petikan capit udang. Jika ikan tidak sengaja mengikuti suara yang salah, pemberhentian akhir mereka bisa jadi dekat dengan daerah konstruksi atau mengikuti arah kapal ke laut lepas.

Lalu, bagaimana menurutmu tentang berita ini untuk Laut dan Kita di Indonesia?

Referensi:
University of Bristol (2010, August 3). Human noise pollution in ocean can lead fish away from good habitats and off to their death. ScienceDaily. Retrieved August 5, 2010, from http://www.sciencedaily.com /releases/2010/08/100803212015.htm

Rabu, 28 Juli 2010

KeSEMaT, Organisasi Mahasiswa yang Berhasil Menembus Birokrasi Mangrove Nasional dan Internasional

Logo KeSEMaT

Semarang - KeSEMaTONLINE. Dua buah foto di bawah ini adalah foto dua buah backdrop (BD) yang menyematkan lambang KeSEMaT di dalamnya, sejajar dengan institusi nasional di Indonesia. BD sebelah atas dan bawah adalah BD yang menyandingkan KeSEMaT dengan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementrian Lingkungan Hidup (KLH), Kementrian Kehutanan (KEHUT), Kementrian Dalam Negeri (KDN), Badan Koordinasi Survei dan Pemetaaan Nasional (BAKOSURTANAL), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lembaga Pengkajian dan Pengembangan (LPP) Mangrove dan Mangroves For The Future (MFF), Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) dan Borneo Lestari Foundation (BLF) beserta para mitra kerjanya yang lain.





BD - atas adalah KeSEMaT saat bekerjasama dengan KKP di program Pelatihan Training of Trainer (TOT) Ayo Tanam Mangrove di Pekalongan. Sementara itu, BD bagian bawah adalah saat penyelenggaraan Seminar Mangrove Nasional di Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah, hasil kerjasama KeSEMaT dengan BLF. Selanjutnya, selama sembilan tahun perjalanannya di “dunia mangrove” Indonesia, sejak berdirinya di 9 Oktober 2010, KeSEMaT yang sebenarnya masih merupakan organisasi mahasiswa di tingkat Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang, terbukti telah berhasil bekerjasama dengan institusi mulai dari tingkat akar rumput sampai dengan kementrian di Jakarta. Berbagai pengalaman pekerjaan dan penghargaan tingkat nasional dan internasional, telah berhasil ditorehkan oleh organisasi mangrove mahasiswa yang berkantor di Jl. Ngesrep Barat V/35 Semarang, ini.

Atas kesuksesannya dalam membangun link dan bermitra dengan banyak institusi dan organisasi non pemerintah ini, maka KeSEMaT, disamping diundang menjadi pemateri di seminar-seminar mangrove tingkat nasional dan internasional, juga seringkali diminta berbicara di dinas dan kampus-kampus di Semarang dan sekitarnya, mengenai kunci kesuksesannya dalam memanajemen organisasinya, sehingga bisa sukses melepaskan dirinya dari “niche” kemahasiswaannya dan menembus jaringan birokrasi (mangrove) dari tingkat daerah hingga nasional dan internasional, yang terkesan sulit ditembus.

Menurut Sdr. Oky Yuripa Pradana (Presiden KeSEMaT), organisasinya dalam waktu dekat ini, kembali akan diundang oleh mahasiswa dan dinas di Semarang dan Rembang. KeSEMaT akan berbicara di (1) Kampus UNDIP dan (2) dinas lingkungan di Rembang, untuk (1) memberikan materi tentang bagaimana agar sukses memanajemen organisasi dan (2) mempresentasikan mengenai kinerja dan sepak terjang KeSEMaT dalam mengelola ekosistem mangrove di Indonesia. Dia juga menambahkan bahwa kesuksesan KeSEMaT ini, semoga saja bisa menginisiasi organisasi mahasiswa lainnya, agar bisa memaksimalkan potensinya dan bertarung di kancah regional, nasional dan internsional, sesuai dengan bidang dan minatnya, masing-masing.

Google KeSEMaT disini.

Sabtu, 24 Juli 2010

Pantai Padang Lokasi Perdagangan Telur Penyu Terbesar di Dunia



PADANG--Pantai Padang di Kota Padang merupakan tempat perdagangan telur penyu terbesar dan paling terang-terangan di Indonesia, bahkan mungkin juga di dunia. Padahal perdagangan telur penyu telah dilarang undang-undang.

Hal itu dinyatakan Harfiandri Damanhuri, peneliti penyu dari Sea Turtle Information Centre of Indonesia (Setia). Bahkan ia menyebut Pantai Padang sebagai ‘Pasar Regional Telur Penyu'.

Menurut Harfiandri, penyu sudah ditetapkan oleh CITES appendix I katagori hewan yang terancam. Penyu dan telurnya juga sudah dilarang Undang-Undang No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya untuk dieksploitasi. Namun di Kota Padang perdagangan telur penyu, bahkan dalam jumlah banyak, masih tetap bebas.

"Di tempat lain ada yang menjual telur penyu, tapi tidak banyak, paling sekantong dua kantong, kalau di Pantai Padang sekitar 20 gerobang berderet menjual telur penyu," katanya.

Ironisnya, tempat itu tak jauh dari kantor Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Padang. Selain itu, Sumatera Barat juga sudah ditetapkan salah satu dari 15 provinsi di Indonesia sebagai kawasan konservasi penyu.

"Pemerintah daerah dan lembaga terkait kurang tegas, sudah ditetapkan sebagai hewan yang dilindungi kok dibiarkan terus, tidak terlihat serius, mestinya tempat itu dikontrol," katanya kepada PadangKini.com, Rabu (3/2/2010).

Perdagangan telur penyu memang sudah lama berlangsung di Pantai Padang. Setia mencatat perdagangan telur penyu yang disebut di Padang sebagai ‘Talua Katuang' sudang berlangsung di sana sejak 1942, tiga tahun sebelum Indonesia merdeka. Namun itu, katanya, bukan berarti legitimasi untuk membiarkannya.

"Perdagangan telur penyu di Pantai Padang terlihat setiap tahun bukan menurun, malah semakin naik, baik jumlah pedagang yang menjual, maupun jumlah telur yang dijual," katanya.

Setia telah mengamati perdagangan telur penyu di Pantai Padang sejak 2004. Berdasarkan catatan empat tahunan, pada 2004 terdapat sekitar 19 pedagang dengan rata-rata setiap hari menjual 52 butir telur. Pada 2009 jumlah pedagang bertambah menjadi 20 dengan jumlah telur yang dijual rata-rata per hari 77,8 butir.

"Tahun 2010 ini bertambah satu pedagang lagi karena tak sanggup lagi jadi nelayan," kata Harfiandri.

Telur-telur penyu ini dipasok dari sejumlah pulau di Sumatera Barat. Sebagian besar, sekitar 45 persen dari Pesisir Selatan. Sisanya dari Padangpariaman, Kota Pariaman, Pasaman, dan Kepulauan Mentawai.

"Bahkan saat pasokan di Sumbar kurang, telur penyu didatangkan dari Pekabaru dengan membawanya dalam kardus buah-buahan, itu tandanya orang lebih leluasa menjual di Pantai Padang," katanya.

Sementara, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Sumatera Barat Yosmeri mengatakan, sudah membuat program pengurangan eksploitasi telur penyu di sejumlah pulau yang biasa memasok ke Pantai Padang. Ia menargetnya pengurangan eksploitasi 30 persen.

"Pulau-pulau yang penduduknya mengambil telur penyu milik hak ulayat, sedangkan perdagangan telur penyu di Pantai Padang sudah lama, karena itu kami terus melakukan sosialisasi dulu agar mereka beralih usaha, meski ada larangan Undang-Undang kami tidak serta merta menerapkan langsung, perlu bertahap," katanya.

Sumber: padangkini.com

Jumat, 02 Juli 2010

Pembangunan jembatan di Kalimantan mengancam hutan hujan tropis, mangrove dan terumbu karang (4)

Dari Jeremy Hance, Mongabay.com, 3 Januari, 2010


Salah satu sisi hutan Sungai Wain.

Rute alternatif.

Pembangunan jalan dan jembatan Pulau Balang tidak perlu terjadi. Menurut para konservasionis, rute alternatif yang lebih sederhana bisa terwujud yang juga tetap menjaga teluk, bakau, dan hutan. Rute alternatif juga rute yang lebih cepat bagi masyarakat untuk berkendara antara Balikpapan dan Penajam. Dibawah rencana saat ini, perjalanan antara Penajam dan Balikpapan jadi ditempuh 80 kilometer lebih jauh, yang juga lebih lama dibanding melalui fasilitas penyeberangan kapal feri yang saat ini sudah ada. Proyek alternatif ini membutuhkan jembatan dan jalanan dibangun di tepi paling selatan teluk, menjauhi kawasan mangrove dan hutan hujan tropis. Mungkin yang terpenting bagi para politisi adalah, sementara proyek alternatif ini akan memakan biaya lebih besar pada awalnya, jangka panjangnya akan lebih hemat.

"Tidak ada yang mencoba menghitung kerugian ekonomi akibat perombakan pulau Balang dan investasi besar yang akan dibayar pemerintah untuk memperbaiki kerusakan lingkungan yang diakibatkan proyek." ujar :hota.

Proyek alternatif kedua adalah tidak melakukan pembangunan jalan dan jembatan, melainkan dengan sederhana mengembangkan transportasi ferry antara Balikpapan dan Penajam bersamaan dengan pemutakhiran jalan yang sudah ada.

Meskipun proyek Jembatan Pulau Balang sudah melewati Analisa Dampak Lingkungan, Lhota berkomentar bahwa analisa tersebut jauh dari memuaskan.

"Asisten saya dan saya sendiri menghabisakan sebulan di kawasan tersebut secara sukarela mengumpulkan data untuk dimasukkan dalam ANDAL, namun tidak ada yang digunakan. Melihat data yang diambil, document ANDALtidak mengindahkan banyak ancaman utama bagi kawasan tersebut, seperti ancaman kebakaran hutan di HLSW, ancaman punahnya hutan mangrove akibat isolasi hutan dengan hutan lainnya dan banyak lagi. … Lebih lanjutnya, dokumen ANDAL tersebut sulit didapatkan (membutuhkan empat tahun bagi saya untuk mendapatkan kopi-ya dan hampir tidak ada aktivis lingkungan pernah mendapatkan akses ke dokumen tersebut) dan prakteknya juga tidak pernah dikonsultasikan ke publik…. Sudah jelas bahwa tujuan utama kajian ANDAL tersebut hanya sekedar memenuhi persyaratan hukum untuk memiliki dokumen ANDAL dan tidak untuk mengevaluasi analsisa dampak lingkungan proyek tersebut."



Salah satu sisi hutan Sungai Wain

Langkah maju: lokal vs propinsi dan pusat

Baru-baru ini, pemerintah likal, melihat banyak aspek negati dari proyek tersebut, telah menghindar dari mendukung Jembatan Pulau Balang. Sebaliknya mereka memberikan dukungan pada proyek jalan alternatif yang jauh tidak merusak lingkungan dan pilihan yang lebih baik bagi masyarakt.

Sebagaimana Ade Fadli menjelaskan: "masyarakat lokal hanya ingin mendapatkan fasilitas transportasi yang memadai."

Meskipun pemerintah propinsi dan pusat tepat menjadi suporter yang berlawanan, yang mampu mendorong proyek Jembatan Pulau Balang meskipun dengan kehawatiran dan penolakan dari pihak lokal. Ternyata dana pembangunan jembatan dan jalan sudah dijamin oleh investor dari Korea Selatan.

"Pemerintah propinsin dengan mudahnya menghiraukan masalah lingkungan, Mereka menganngap ada kebutuhan besar untuk mengembangkan transportasi antara Kalimantan Timur dan Selatan, yang sebenarnya juga benar, namun tidak menjelaskan mengapa memilih Jembatan Pulau Balang sebagai solusi jalan raya propinsi mengalahkan beberapa saran alternatif lainya," ujar Frederiksson.

"Alasan utama yang saya bisa lihat dari keinginan kuat untuk membangun rute jalan ini adalah panjangnya jalan yang dibangun (pengeluaran proyek yang besar) dan area terbesar yang tersedia untuk spekulasi harga tanah, yang telah berjalan sejak awal 1990 ketika pembangunan jalan pertamakali direcanakan / mulai dibangun. Sejumlah besar orang berpengaruh di tingkat propinsi dan pusat telah membeli lahan tanah dan akan melihat keuntungan besar ketika jalan ini terwujud," ujar Frederiksson.

"Saya saat ini tidak tahu siapa saja yang telah membeli tanah sepanjang kawasan pembanugnan jalan ini namun orang-orang ini sangat berpengaruh, dan, tentunya, pemangku azas yang sangat berambisi. Korupsi adalah bagian tak terpisahkan dari kultur orang Indonesian dan rumor lokal telah menjelaskan apa dibalik keputusan-keputusan pemerintah selama ini," seperti apa yang dikatakan nara sumber yang dirahasiakan, dan menambahkan, "tentunya, rumor ini tidak bisa dibuktikan."

Pada akhirnya membangun jalan akan menjadi sebuah kehilangan besar dalam daftar besar hilangnya keanekaragaman hayati dan hutan Indonesia. Negara kepualuan ini - yang memiliki laju deforestasi terbesar di dunia, kehilangan hampir 25 persen hutanny adlam 15 tahun - juga pelepas emisi karbon ketiga terbesar di dunia setelah Cina dan Amerika Serikat yang sebagian besar terkait dengan deforestasi. Sebagai tambahan, pulau Borneo telah kehilangan sekitar 50 persen tutupan hutan sejak 1970-an, meskipun dengan meningkatnya pemahaman akan pentingnya jasa ekologis hutan hujan tropis seperti untuk pengendapan karbon (carbon sequestration), preservasi keanekaragaman hayati, dan tangkapan air tawar.

Meskipun Indonesia memiliki sejarah buruk dalam lingkungan, para konservasionis berharap kali ini pemerintah propinsi dan pusat akan sadar dan terbuka, menjamin bahwa pelestarian hutan - termasuk mangrove dan teluk - adalah cara terbaik kedepannya dalam hal ekonomi dan kelestarian lingkungan.


Gibbon borneo. Foto: Petr Colas.

Gibbon borneo, salah satu satwa HLSW yang terancam punah di daftar merah IUCN


Dugong, salah satu satwa HLSW yang juga terancam punah.