Senin, 14 Desember 2009

Semarang tenggelam akibat kenaikan tinggi muka air laut (TMAL).

Demikian penelitian Sistim Informasi Geografis (SIG) yang dilakukan Marfa’I dan King mensimulasikan dua skenario kenaikan tinggi muka air laut (TMAL) sebesar 120 cm dan 180 cm pada  pesisir Semarang.


(a) Pesisir semarang saat ini, (a1) kawasan tambak, (a2) kawasan bangunan.
Foto: Marfa’i & King, 2008.

Pesisir Semarang dalam simulasi kenaikan TMAL:

(atas) Hasil simulasi kenaikan TMAL 120 cm, dan (bawah) 180cm. Inundated area (daerah terendam). Gambar: Marfa'i & King 2008.

Kita tidak tahu pasti seberapa cepat kenaikan TMAL di waktu mendatang. Pastinya, dalam satu abad ke belakang, TMAL rata-rata dunia naik antara 10-25 cm dan disebabkan oleh pemanasan global. Indonesia diprediksi akan kehilangan sekitar 34.000 km2 daratan akibat kenaikan TMAL hanya dengan 60 cm saja.

Kota besar seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya, rentan akan inundasi pesisir (perendaman pesisir atau ‘rob’), Untuk Semarang, menurunnya dataran (subsiden) akibat kosongnya rongga-rongga di bawah tanah akibat penyedotan air tanah yang berlebih, memperburuk dampak inundasi pesisir/rob.

Penurunan daratan sendiri diprediksi menyebabkan bertambahnya luasan daratan Semarang yang terendam air laut dari 362 hektar di 2010, ke 1377.5 hektar di 2015; hingga 2227 di tahun 2020. Sadar, tidak disadari, acuh tak acuh, di Semarang sekitar 72.000 penduduk tinggal dibawah muka air laut seperti di Tambak-harjo, Tawang-sari, Panggung-lor, Bandar-harjo, Tanjung-mas, Terboyo Kulon. Serasa di Belanda.

Jika kedua skenario diatas terjadi maka sekitar 2000 hektar industri tambak dan juga bangunan akan terkena dampak. Hilangnya 700 – 900 hektar daratan terbuka dan 500 – 700 hektar kawasan pertanian dan perkebunan. Kerugian ekonomi: (silahkan isi).

Sejauh mana Kita telah mengantisipasi ? Tengok hasil dokumentasi Marfa’I dan King (2008) dibawah.



(a) Akankah kita terus meninggikan tembok penghalang air rob?. (b) akankah kita akan terus meninggikan rumah kita ?. (c) akankah kita terus memompa keluar air yang masuk? (d) akankah kita terus mengalihkan air yang membanjiri kota?. Foto:Marfa'i & King 2008.

Percaya atau tidak dengan pemanasan global, yang pasti, alam sedang berubah dan Kita merasakan.

Saat artikel ini ditulis, di Copenhagen sedang berlangsung 14 hari Konferensi Perubahan Iklim Dunia, dimana para petinggi negara maju mencoba menyepakati penurunan emisi CO2 mereka. Indonesia menunggu hasil saja, dan dampak emisi CO2 negara maju satu abad keblakang saat ini Kita di yang tropis  merasakan.

Jangan pusing terlalu jauh memikirkan untuk menghentikan dampak perubahan iklim duni. Tengok Laut disekitar Kita yang terus terdegradasi. Indonesia memiliki paket lengkap keanekaragaman hayati disertai dengan beragam kerusakan akibat Kita sendiri.

Ikan di Laut Kita  terus menurun jumlahnya. Kita terlalu banyak mengambil dari Laut. Tahun 2004-2005, sebesar12.5% perikanan nasional datang dari negara lain. Mengenaskan. Bahkan tahun 2008 kita mengimpor garam. Sudah jelas ada yang salah dalam cara Kita mengelola sumberdaya Laut Kita.

Dalam kurun waktu 10-15 tahun terakhir, Thailand, Filipina, Taiwan, Korea, Panama, Cina, Vietnam, Malaysia, Kamboja, Myanmar, dan beberapa negara lainnya ‘berlangganan’ mencuri ikan di laut Kita. Segala Undang-Undang karya pemerintah kita sejak tahun 80’an gagal dan tidak efektif menangkal kejahatan perikanan asing di perairan Kita.

Kita berteriak dengan kencang ketika Pakaian Nasional dan Tarian Adat kita direbut Negara tetangga. Namun secara tidak disadari, ikan Kita terus hilang dan berkurang, pesisir semakin tercemar dan rusak, nasib nelayan dan masyarakat pesisir dan pulau kecil semakin mengenaskan. Parahnya, Kita membiarkan mereka yang memiliki wewenang dalam mengatur semua ini - terkadang dalam nuansa korup.

Sejauh inikah kemanusiaan dan nasionalisme Indonesia saat ini ?

Apakah Kita saat ini berbondong-bondong menuju krisis Ikan 2015 dan terendamnya pesisir?
------------------------
Referensi:
  • Damanik, R., Suhana, and B. Prasetiamartati. 2008. Menjala ikan terakhir(Sebuah fakta krisis di laut Indonesia). D. Setiawan, editor. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Jakarta. (Gratis unduh file PDF disini)
  • Marfai, M. and L. King. 2008. Potential vulnerability implications of coastal inundation due to sea level rise for the coastal zone of Semarang city, Indonesia. Environmental Geology 54:1235-1245.
  • Nicholls JR, Mimura N (1998) Regional issues raised by sea-level rise and their policy implications. Clim Res 11:5–18
  • IPCC
  • Kompas. 24 Agustus 2009. Indonesia mesti malu, masa garam dan ikan harus impor.

1 komentar:

jatu f mengatakan...

ijin ngopi CO2 widget dan ngelink blognya gan... Good blog anyway... Semoga misinya berhasil... SEMANGAT!!!!