Kamis, 31 Desember 2009

Ada 3 Kado Bagi Nelayan Dari Pemerintah Di Akhir Tahun 2009


Posting ulang dari Kiara Foundation, untuk menambah kepekaan Kita akan hubungan sosio-ekologis manusia dengan laut Indonesia saat ini.
Toto M - Kiara Foundation

"Dipenghujung tahun 2009 ini ada tiga kado keprihatinan bagi nelayan dan masyarakat pesisir. Hal itu terungkap dalam acara ‘Refleksi Kelautan Perikanan 2009 dan Proyeksi 2010’ yang digelar oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), yang dilangsungkan di hotel Cemara jalan Cemara I Menteng Jakarta Pusat hari ini (30/12).

KIARA mengatakan, bahwa ketiga kado yang dimaksud itu adalah, yang pertama National Summit. Karena menurut KIARA, 19 butir National Summit program ekonominya dalam sektor kelautan dan perikanan bukan kepada nelayan tradisional melainkan mengarah kepada industri dan investasi. Sehingga hal itu akan merugikan bagi nelayan tradisioal dan masyarakat pesisir."

Foto: Rebecca Weeks/ARC Centre of Excellence for Coral Reef Studies
 Nelayan tradisional menangkap ikan di kawasan terumbu karang dengan alat sederhana dan perahu kayu, kadang bermotor. Ikan besar sudah diambil lebih dahulu oleh armada tangkap modern. Sehingga ikan yang belum dewasa sjadi tangkapan akhir bagi nelayan tradisional, mengancam siklus regenerasi populasi ikan.

Kegiatan semacam ini  umum dijumpai di kawasan konservasi (Taman Laut Nasional) di Indonesia. Kebutuhan mereka  untuk makan sehari-hari dan jualan ikan semakin tertekan dengan peraturan konservasi yang melarang penangkapan ikan di kebun mereka. Tidak jarang kegiatan mereka berdampak negatif pada habitat ikan itu sendiri - terumbu karang.

Gencarnya peraturan dan praktik konservasi laut cenderung menutup pintu bagi nelayan tersebut, dengan alternatif mata pencaharian yang sangat minim bagi nelayan, sehingga konflik konservasi terus berlanjut. Meskipun demikian, keuntungan perikanan Indonesia pada umumnya larinya masih ke pemerintah dan pengusaha internasional, sangat sedikit yang ke nelayan.  30 tahun sudah peraturan perikanan Indonesia berevolusi, nelayan masih saja dipinggirkan dalam pasar perikanan.
"Kado yang kedua lanjut KIARA, adalah Copenhagen Accord, sebagai dokumen KTT iklim ke 15 yang dinilai melemahkan negara kepulauan dan memperparah kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir."

 Bahkan negara-negara yang menyumbang emisi karbon terbesar di dunia seperti: Amerika Serikat, China, Australia, India, dan negara Uni-Eropa; masih saja sulit untuk menyepakati target penurunan emisi 2020 hingga 350 ppm. Semua dengan alasan ekonomi, ekonomi, ekonomi. Amerika serikat, yang menyumbang 30% emisi dunia saat ini, dengan keras hati hanya bisa menurunkan hingga 17% untuk 20 tahun kedepan. Di Copenhagen, delegasi negara-negara berkembang banyak yang kecewa dengan sikap negara-negara kaya dan maju. Saat ini konsentrasi CO2 dunia sekitar 380 ppm, terumbu karang dan biota laut lainnya agar bisa  bertahan dalam 5 dekade kedepan, memerlukan konsentrasi dibawah 350 ppm. Indonesia hanya bisa menunggu, meskipun demikian, dari dalam Kita menggerogoti Laut Kita sendiri.
"Sedangkan kado keprihatinan ketiga bagi nelayan dan masyarakat pesisir yang dimaksud oleh KIARA, adalah pembelian 150 buah mobil mewah yang diperuntukan buat menteri kabinet Indonesia bersatu (KIB) jilid II yang masing – masing diperkirakan seharga Rp 1,3 miliar.

KIARA menilai, bahwa Presiden dan Menteri tidak memiliki sensitivitas atas keprihatinan ekonomi nelayan yang merosot 40 sampai 50 persen ditahun 2009. KIARA mengatakan, seandainya dana sebesar tersebut dipergunakan untuk membeli dan membenahi peralatan untuk tangkap ikan bagi nelayan, maka 10 ribu keluarga nelayan dapat menangkap ikan dengan lebih baik."

 "Selamat Tahun Baru 2010"
Foto: Sterling Zumbrunn / Conservation International

Minggu, 20 Desember 2009

Rumah baru gurita masa kini: Batok kelapa.



Rabu, 16 Desember 2009 | 17:28 WIB

*SYDNEY, KOMPAS.com*– Para ilmuwan Australia telah menemukan gurita di Indonesia yang mengumpulkan batok kelapa untuk dijadikan rumah. Ini bisa jadi merupakan penemuan perilaku tingkat lanjut yang pertama bagi binatang invertebrata (tanpa tulang belakang) yang mampu memakai alat.

Para ilmuwan memfilmkan gurita *Amphioctopus marginatus *itu yang tengah memilah kumpulan batok-batok kelapa di dasar lautan, mengosongkan isinya, dibawa di bawah tubuhnya sejauh 20 meter, dan kemudian mengatur dua batok sehingga membentuk bola tempat bersembunyi.

Julian Finn dan Mark Normann, dari Musium Victoria di Melbourne, selama beberapa kali mengunjungi Sulawesi Utara dan Bali untuk menyelam, antara periode 1998 sampai 2008, telah melihat aktivitas janggal dilakukan oleh empat gurita berbeda. Penemuan mereka diterbitkan, Selasa (15/12/2009) di majalah Current Biology.

"Saya sampai tercengang," kata Finn, seorang peneliti pakar biologi dari musium yang berspesialisasi pada Cephalopoda. "Maksudku, aku sering melihat gurita bersembunyi di balik batok kelapa, tapi aku tadinya belum pernah melihat ada yang bisa mengambil batok, dan menariknya. Aku sampai harus menahan tawa."

Gurita seringkali memakai barang apa saja untuk berlindung. Tapi para ilmuwan telah menemukan bahwa gurita berpembuluh darah itu selangkah lebih maju karena bisa menyiapkan batok-batoknya, dengan cara membawanya cukup jauh, lalu mengaturnya di tempat lain.

"Itu adalah contoh pemakaian alat, yang mana belum pernah ditemukan pada mahluk invertebrata sebelumnya," kata Finn.

"Bedanya dari umang-umang darat ialah gurita ini mengumpulkan batok-batok untuk digunakan belakangan, jadi ketika memindahkan batok, gurita itu tak terlindungi," kata Finn. Hal ini unik karena batok itu tak langsung dipakai, berarti gurita itu bisa berpikir untuk masa depan. "Karena bisa mengumpulkan batok untuk digunakan nanti maka gurita ini unik."

Para peneliti berteori bahwa kemungkinan besar jenis gurita itu dulunya memang bercangkang. Tapi begitu manusia tahu membelah kelapa dan membuang batoknya ke laut, gurita-gurita itu menemukan cara yang lebih baik untuk berlindung, tutur Finn.

Penemuan ini berarti, karena ini menunjukkan bahwa hewan mampu untuk menunjukkan perilaku yang lebih rumit, menurut Simon Robson, lektor kepala bidang biologi tropis dari Universitas James Cook di Townsville.

"Gurita memang menonjol sebagai hewan invertebrata yang cerdas," Robson memaparkan. "Mereka memiliki indra penglihatan yang cukup berkembang dan otak yang cukup cerdas. Jadi aku rasa penemuan ini menunjukkan kemampuan perilaku rumit yang bisa dilakukan organisme ini."

Di kalangan ilmiah memang selalu ada perdebatan tentang definisi 'penggunaan alat' dalam dunia hewan, menurut Robson. Para peneliti Australia menjabarkan 'alat' sebagai barang yang dibawa atau disimpan untuk keperluan mendatang. Tapi ada juga ilmuwan lainnya yang beda pendapat, jadi sulit untuk menentukan dengan pasti apakah ini memang perilaku penggunaan alat pada hewan invertebrate atau bukan, kata Robson. Tapi biar bagaimanapun ia tetap menganggap penemuan ini sangat menarik.

"Ini satu lagi contoh yang membuat kita sadar betapa miripnya manusia dengan alam. Kita hanyalah perpanjangan dari planet ini," tandasnya.

Senin, 14 Desember 2009

Semarang tenggelam akibat kenaikan tinggi muka air laut (TMAL).

Demikian penelitian Sistim Informasi Geografis (SIG) yang dilakukan Marfa’I dan King mensimulasikan dua skenario kenaikan tinggi muka air laut (TMAL) sebesar 120 cm dan 180 cm pada  pesisir Semarang.


(a) Pesisir semarang saat ini, (a1) kawasan tambak, (a2) kawasan bangunan.
Foto: Marfa’i & King, 2008.

Pesisir Semarang dalam simulasi kenaikan TMAL:

(atas) Hasil simulasi kenaikan TMAL 120 cm, dan (bawah) 180cm. Inundated area (daerah terendam). Gambar: Marfa'i & King 2008.

Kita tidak tahu pasti seberapa cepat kenaikan TMAL di waktu mendatang. Pastinya, dalam satu abad ke belakang, TMAL rata-rata dunia naik antara 10-25 cm dan disebabkan oleh pemanasan global. Indonesia diprediksi akan kehilangan sekitar 34.000 km2 daratan akibat kenaikan TMAL hanya dengan 60 cm saja.

Kota besar seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya, rentan akan inundasi pesisir (perendaman pesisir atau ‘rob’), Untuk Semarang, menurunnya dataran (subsiden) akibat kosongnya rongga-rongga di bawah tanah akibat penyedotan air tanah yang berlebih, memperburuk dampak inundasi pesisir/rob.

Penurunan daratan sendiri diprediksi menyebabkan bertambahnya luasan daratan Semarang yang terendam air laut dari 362 hektar di 2010, ke 1377.5 hektar di 2015; hingga 2227 di tahun 2020. Sadar, tidak disadari, acuh tak acuh, di Semarang sekitar 72.000 penduduk tinggal dibawah muka air laut seperti di Tambak-harjo, Tawang-sari, Panggung-lor, Bandar-harjo, Tanjung-mas, Terboyo Kulon. Serasa di Belanda.

Jika kedua skenario diatas terjadi maka sekitar 2000 hektar industri tambak dan juga bangunan akan terkena dampak. Hilangnya 700 – 900 hektar daratan terbuka dan 500 – 700 hektar kawasan pertanian dan perkebunan. Kerugian ekonomi: (silahkan isi).

Sejauh mana Kita telah mengantisipasi ? Tengok hasil dokumentasi Marfa’I dan King (2008) dibawah.



(a) Akankah kita terus meninggikan tembok penghalang air rob?. (b) akankah kita akan terus meninggikan rumah kita ?. (c) akankah kita terus memompa keluar air yang masuk? (d) akankah kita terus mengalihkan air yang membanjiri kota?. Foto:Marfa'i & King 2008.

Percaya atau tidak dengan pemanasan global, yang pasti, alam sedang berubah dan Kita merasakan.

Saat artikel ini ditulis, di Copenhagen sedang berlangsung 14 hari Konferensi Perubahan Iklim Dunia, dimana para petinggi negara maju mencoba menyepakati penurunan emisi CO2 mereka. Indonesia menunggu hasil saja, dan dampak emisi CO2 negara maju satu abad keblakang saat ini Kita di yang tropis  merasakan.

Jangan pusing terlalu jauh memikirkan untuk menghentikan dampak perubahan iklim duni. Tengok Laut disekitar Kita yang terus terdegradasi. Indonesia memiliki paket lengkap keanekaragaman hayati disertai dengan beragam kerusakan akibat Kita sendiri.

Ikan di Laut Kita  terus menurun jumlahnya. Kita terlalu banyak mengambil dari Laut. Tahun 2004-2005, sebesar12.5% perikanan nasional datang dari negara lain. Mengenaskan. Bahkan tahun 2008 kita mengimpor garam. Sudah jelas ada yang salah dalam cara Kita mengelola sumberdaya Laut Kita.

Dalam kurun waktu 10-15 tahun terakhir, Thailand, Filipina, Taiwan, Korea, Panama, Cina, Vietnam, Malaysia, Kamboja, Myanmar, dan beberapa negara lainnya ‘berlangganan’ mencuri ikan di laut Kita. Segala Undang-Undang karya pemerintah kita sejak tahun 80’an gagal dan tidak efektif menangkal kejahatan perikanan asing di perairan Kita.

Kita berteriak dengan kencang ketika Pakaian Nasional dan Tarian Adat kita direbut Negara tetangga. Namun secara tidak disadari, ikan Kita terus hilang dan berkurang, pesisir semakin tercemar dan rusak, nasib nelayan dan masyarakat pesisir dan pulau kecil semakin mengenaskan. Parahnya, Kita membiarkan mereka yang memiliki wewenang dalam mengatur semua ini - terkadang dalam nuansa korup.

Sejauh inikah kemanusiaan dan nasionalisme Indonesia saat ini ?

Apakah Kita saat ini berbondong-bondong menuju krisis Ikan 2015 dan terendamnya pesisir?
------------------------
Referensi:
  • Damanik, R., Suhana, and B. Prasetiamartati. 2008. Menjala ikan terakhir(Sebuah fakta krisis di laut Indonesia). D. Setiawan, editor. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Jakarta. (Gratis unduh file PDF disini)
  • Marfai, M. and L. King. 2008. Potential vulnerability implications of coastal inundation due to sea level rise for the coastal zone of Semarang city, Indonesia. Environmental Geology 54:1235-1245.
  • Nicholls JR, Mimura N (1998) Regional issues raised by sea-level rise and their policy implications. Clim Res 11:5–18
  • IPCC
  • Kompas. 24 Agustus 2009. Indonesia mesti malu, masa garam dan ikan harus impor.