Jumat, 20 November 2009

Anak karang vs Lautan asam

Dwi Haryanti

Bulan Maret lalu saya mendapatkan kesempatan untuk turut serta dalam sebuah riset di lapangan untuk mengamati spawning masal karang. Saya bersama beberapa rekan ditempatkan di sebuah pulau kecil di bagian timur kepulauan Karimunjawa. Kesempatan langka yang sudah lama saya nanti-nantikan, karena sebagai mahasiswa sains yang selalu berkutat dengan topik-topik mengenai biologi dan reproduksi karang, saya sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuk telur karang secara langsung.

Coral spawning SUPER slick - kumpulan telur, embrio dan larva yang terapung di Scott's Reef, Great Barrier Reef Australia(James Guest, Jurnal Science, 2008) 

Anda pernah melihat telur karang?

Jika Anda beruntung, pada hari-hari di sekitar bulan purnama, di musim-musim peralihan (dalam hal ini, di Indonesia, yang saya ketahui sekitar bulan Maret-April dan Oktober-Novenber) mungkin Anda akan menemui satu malam dimana laut menebarkan bau amis, dan terlihat semacam slick berwarna pink-orange mengapung di laut ataupun terbawa arus menuju pantai dan dermaga. Saat itulah karang sedang melakukan spawning masal. Masyarakat lokal di Karimunjawa menyebutnya “Tai Arus”, mungkin karena bau amisnya, dan warnanya. Namun dengan begitu saya jadi lebih mudah mengingatnya :)

Telur karang dilepaskan bersama-sama dengan satu tujuan: memperbesar kesempatan sebuah generasi baru untuk hidup dan tumbuh. Ada banyak tantangan yang harus dihadapi calon-calon anak karang yang baru dilepaskan. Selain hempasan ombak ke pantai yang berpotensi menggagalkan mereka untuk hidup, ada juga predator seperti ikan. Yang berhasil dibuahi akan berkembang menjadi satu individu baru bernama ‘planula’.

Sebelum menempel ke dasar perairan dan membentuk koloni karang, planula akan mengembara mencari tempat yang cocok untuk menetap. Badannya yang dibekali dengan kandungan lemak memiliki dua fungsi, pertama sebagai pengatur daya apung (Ya, benar, meski sangat kecil, mereka juga aktif berenang, dengan bulu-bulu getar mikroskopis), dan juga sebagai cadangan makanan. Satu tantangan tersendiri untuk para planula pengembara agar dapat menemukan tempat baru sebelum cadangan makanan mereka habis. Dan belum berhenti disitu, karena setelah settle atau menempel, planula akan mulai bermetamorfosis, membentuk polip (bentuknya tidak akan seperti telur lagi, melainkan akan berubah menjadi seperti mangkok, dengan mulut dan tentakel), dan membangun kerangka kapur.


Tahapan metamorfosis planula, dari bentuk telur lonjong, hingga polip kerangka kapur muda.

Terumbu karang, yang kita lihat sebagai taman bawah laut berwarna-warni, seperti yang kita ketahui, komponen penyusun utamanya tak lain adalah hewan-hewan karang kecil yang mengendapkan kerangka kapur hingga dalam berbagai bentuk dan rupa. Merekalah planula-planula pengembara yang berhasil bertahan hidup. Dalam siklus hidupnya, fase metamorfosis planula menjadi polip dapat dikatakan sebagai tahapan yang sangat rentan. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa keberhasilan metamofosis sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, seperti suhu, pencahayaan-kaitannya dengan radiasi sinar matahari, dan juga tingkat keasaman laut (pH). 



'Coral Spawning sata bulan purnama, Okinawa, Jepang - www.aquageographic.com

Apabila kita menyimak posting sebelumnya mengenai asidifikasi laut dan segala skenario di masa depan yang berkaitan dengan perubahan komposisi kimia lautan, maka faktor-faktor diatas perlu digarisbawahi. Laut yang asam tidak hanya mengikis perlahan terumbu karang (dewasa, jika boleh dikatakan demikian) yang sudah ada, namun juga dapat menghambat regenerasi dan pertumbuhan anak-anak karang.

 Coral spawning di Florida Keys, AS dari NOAA

Seberapa besar kelentingan atau daya tahan mereka terhadap perubahan lingkungan, dan seberapa jauh anak karang yang baru akan tumbuh dapat beradaptasi terhadap laut yang asam memang belum diketahui. Tugas kita adalah untuk mengkaji dan mengerti, lalu bersama-sama melakukan upaya-upaya untuk turut menjaganya. Menekan emisi karbon menjadi solusi yang dapat dilakukan hampir oleh semua orang. Hal kecil yang akumulasi dampaknya bisa jadi besar. Memberi kesempatan satu generasi untuk hidup.

Untuk Laut, dan untuk Kita.

Referensi:
~ Omori & Fujiwara (2004) Manual for restoration and remediation of coral reef.
~ Munasik (2002) Reproduksi seksual karang di Indonesia: Suatu kajian.
~ Kleypas et al (2006) Impacts of ocean ccidification on coral reefs and other marine calcifier 

Kamis, 19 November 2009

Perubahan Iklim, Laut, Terumbu Karang, Copenhagen, Indonesia (2)

Di posting sebelumnya Kita tahu bahwa untuk mencegah hilangnya keanekaragaman hayati laut, khususnya terumbu karang, dari pengasaman laut / ocean acidification; maka manusia mesti bisa berkomitmen untuk menurunkan kadar CO2 diatmosfir bumi dibawah 350 ppm (Veron 2009). 

Terus apa kaitannya dengan Kita sebagai Indonesia? 

Sebagai catatan. Di tahun 2006, negara pencemar atmosfir tertinggi adalah Cina, Amerika Serikat, Rusia, India dan Jepang. Sekitar 50% dari total emisi karbon buatan manusia berasal dari Cina dan Amerika dan negara Uni Eropa. Indonesia menduduki peringkat 19, tahun itu saja Kita melepas lebih dari 330 juta ton carbon ke atmosfir atau 1.2 % dari emisi karbon manusia di dunia tahun itu.

Kasarnya, jika dibagi rata, tiap penduduk menyumbang sekitar 1.5 ton karbon (CO2) ke atmosfir dalam satu tahun.

Melihat porsi sumbangan langsung 'kentut' Kita, pengaruh Kita dalam menurunkan kadar CO2 di atmosfir sangat kecil jika dibandingkan Cina dan AS satu banding lima puluh. Anggaplah  ekstrimnya, jika 10 tahun kedepan penduduk Indonesia berkomitmen tidak menggunakan listrik - balik ke jaman batu, maka kita hanya bisa andil menurunkan emisi karbon manusia sekitar 1-2%. 

Namun ini bukan menjadi alasan bagi Kita untuk tidak hemat energi. Secara tidak langsung, ketergantungan perekonomian/perdagangan kita dengan AS dan Cina, membawa kehidupan sehari-hari Kita yang berkontribusi dengan 'kentut' AS dan Cina.

Ini balik lagi ke moral dan kesadaran Indonesia. Moralnya - maukah kita memungut kotoran di tengah jalan, walapun nantinya ribuan kotoran pastinya akan berdatangan lagi - seakan sia-sia, namun berpengaruh. 

Kesadarannya - Sadarkah Kita, bahwa 'kentut' AS, Cina, Uni Eropa sedang meracuni ekosistem Indonesia melalui perubahan iklim?  

Siapkah satu-satunya warga Indonesia?

Perubahan iklim berjalan perlahan. Kejanggalan cuaca, badai, peralihan musim yang tidak menentu, air laut yang semakin mengikis pesisir; adalah dampak yang kita rasakan dari emisi karbon manusia dalam 10-20 tahun kebelakang. Dampak kadar CO2 sebesar 387 ppm yang manusia berikan pada atmosfir saat ini  akan terasa dalam perjalanan kita ke 10 - 20 tahun kedepan.

Selain dampak global perubahan iklim, dalam perjalanan Kita di tahun-tahun kedepan masih ada kemungkinan dampak lokak: kerusakan akibat bencana alam, pengambilan ikan laut yang saat ini tidak memberikan kesempatan ikan untuk regenerasi, pencemaran pesisir dan laut, perusakan terumbu karang, pembabatan lahan bakau pesisir untuk wisata dan industri, tekanan perekonomian masyarakat pesisir yang memicu mata pencaharian yang tidak bersahabat dengan alam, dan hal-hal buruk lainnya...

Daya kendali kita akan dampak global perubahan iklim sangat kecil, namun Kita punya pengaruh kuat dalam mengurangi dampak negatif lokal. Apakah wujud  dampak negatif lokal itu:

Degradasi lingkungan pesisir laut yang berkelanjutan hingga kini.

Ketika Kita hendak memancing ikan tersebut... menyantap seafood... membuang sampah..., menghembuskan asap kendaraan kita... memanfaatkan air bersih... merokok...berada di pantai / pulau / laut... mendirikan bangunan... membuat peraturan / kebijakan... memberi kepercayaan pada tokoh politik... menerima / memberikan uang pada seseorang...melepas jangkar kita, memilih dan melakukan pekerjaan Kita... tanyakan pada diri Kita:

Apakah saya dalam proses yang posisif bagi lingkungan dan anak cucu kita?


Yang tersisa di timur: Sebuah video terumbu karang di 'Raja Ampat'

Referensi 

Veron, J. E. N., O. Hoegh-Guldberg, T. M. Lenton, J. M. Lough, D. O. Obura, P. Pearce-Kelly, C. R. C. Sheppard, M. Spalding, M. G. Stafford-Smith, and A. D. Rogers. 2009. The coral reef crisis: The critical importance of <350 ppm CO2. Marine Pollution Bulletin 58:1428-1436.

Selasa, 17 November 2009

Perubahan Iklim, Laut, Terumbu Karang, Copenhagen, Indonesia (1)



Hamparan es kutub utara dan Greenland - sekarang dan nanti.
Foto: www.cedas.org/newsin3d.com

Di bulan Desember 2009 ini, sekitar 200 perwakilan Negara di dunia akan berkumpul di Copenhagen, Denmark, untuk menghadiri Konferensi Perubahan Iklim PPB. Disanalah komitmen terbesar negara-negara dunia dalam mengurangi pengotoran atmosfir Kita akan terlihat.

Terus kenapa ?.

Terus kenapa ? adalah pertanyaan yang paling wajar untuk Kita lontarkan di benak Kita sebagai orang Indonesia. Jika begitu, bersyukurlah, berarti kita masih penasaran dengan diri Kita akan sejauh mana Kita bisa melindungi Laut. Lalu, mengapa tidak sekalian saja menyelamatkan Laut Kita?.

Jika ingin menyelamatkan lingkungan Laut, misalnya seperti ekosistem terumbu karang, berarti Kita harus berkomitmen menyelamatkan diri Kita dari Kita sendiri. Lain kata, menyelamatkan manusia esok dari manusia kini.

Mengapa esok? - karena yang merasakan sejauh mana ‘selamat’-nya Laut Kita adalah anak cucu kita, bukan Kita saat ini.

Mengapa kini? – Karena baik Laut, atmosfir dan daratan, mereka memerlukan perlindungan dari ‘sel kanker’ yang saat ini terus berkembang menggerogoti, yaitu Kita sendiri, manusia.

Menjelajah laut paling dalam, terbang ke bulan, penggandaan jaringan tubuh manusia dan hewan, membuat robot seukuran sel darah, bom nuklir – semua bisa dilakukan Kita. Hingga saat kini, kita bisa merubah iklim bumi kita.

Hei, mana kelanjutan ‘Copenhagen’-nya?

Oh, maaf, kembali fokus. Jadi, Desember ini, negara-negara peserta konferensi di Copenhagen akan mencoba menyepakati protokol baru dalam mengatasi perubahan iklim* dunia dan jumlah emisi gas rumah kaca yang akan mereka dikurangi.

Dalam konteks humor,  Copenhagen bisa dibilang sebuah komitmen terbesar manusia  di negara berkembang saat ini untuk mengendalikan intentistas dan frekuensi ‘kentut’ mereka di masa depan, agar tidak meracuni ekosistem sekitar mereka.


Foto: Coral Reef Targeted Research
Terhitung 11 November 2009 ini, jumlah emisi karbon dioksida di atmosfir Kita sekitar 385 ppm**. Angka ‘bencana’ bagi manusia dan ekosistem bumi adalah 450 ppm, namun bagi terumbu karang, ternyata ini masih terlalu tinggi.

Analisa terkini Charlie Veron dan rekan (2009) menyatakan bahwa, dibutuhkan kadar emisi CO2 atmosfir dibawah 360 ppm untuk menjamin kelangsungan ekologi terumbu karang kedepannya. Untuk mengimbangi pengasaman laut*** yang saat ini sudah berjalan dibawah 385 ppm dan telah berdampak pada terumbu karang dan ekosistem laut lainnya.

Di Copenhagen, para ilmuwan bahari akan ‘mendesak’ para pemimpin dunia untuk men-target penurunan emisi hingga 320 ppm untuk menghindari pengasaman laut berkelanjutan. Mari kita pantau terus media.

Berdasarkan Veron dkk., jika target ini tidak tercapai, dampak negatif seperti: pemutihan karang masal akibat meningkatnya suhu muka laut, terhambatnya pertumbuhan karang akibat air laut yang asam – akan berlanjut. Dalam nuansa 387 ppm saat ini, jika terus bertahan hingga 10 tahun kedepan saja, maka banyak terumbu dunia akan rusak, dan tak terpulihkan.

Sebagai bonus. Dengan laju peningkatan emisi saat ini, di kisaran tahun 2030-2040, jika manusia tidak bertindak, CO2 di atmosfir bisa mencapai 450 ppm. Dengan angka ini, frekuensi pemutihan karang masal terjadi setiap tahunya, dan serentak dengan kerusakan pengasaman laut dan serta dari gejala alam lainnya (badai pesisir yang semakin sering).

Di saat itu, ikan tidak banyak bertahan karena kehilangan rumah. Komoditas ikan semakin langka dan berharga. Masyarakat yang bergantung pada sumberdaya laut kehidupannya semakin terancam. Kompetisi sumberdaya laut semakin pesat, dan konflik / destabilisasi sosial akan lebih meningkat di kalangan masyarakat yang berketergantungan tinggi dengan sumber daya terumbu dan laut. Dan berita buruk seterusnya...

Hei, stop. Ada apa dengan ‘berlagak Tuhan’ disini? Adakah mampu kita ‘meramal’ masa depan terumbu karang dan teman-temannya?

Tak ada yang bermain Tuhan. Dan untuk menjawab ini akan kontradiktif dengan idealisme ilmiah-awam blog ini. Cukup balik lagi ke hati nurani Kita saat ini yang sedang bertanggung jawab akan kelestarian kebun besar laut dengan nama Coral Triangle / Segitiga Karang ini, dan kepedulian kita dengan nasib generasi penerus kita.

Kita sekarang sedang naik mobil, kecepatan 80 km/jam. Tiba-tiba di depan kita terlihat tikungan tajam. Seketika itu juga benak ita merespon 'menjelang tikungan Kita injak pedal rem perlahan dan konsentrasi penuh untuk  berbelok dengan aman'.

‘Digdaya’-nya kemampuan ilmiah manusia saat ini dalam memprediksi iklim global tu SAMA responsifnya dengan tanggapan benak kita di uraian atas. Sehingga dengan seketika kita bisa masih mengambil keputusan untuk menghindari malapetaka. Saat ini kita sedang memasuki tikungan, nasib kita tergantung sejauh mana kemampuanKita menginjak rem dan memutar strir.

Lalu, disini apa peranan kita sebagai ‘Indonesia’ ? – akan berlanjut di bagian 2.

* Tentang ‘Perubahan klim/Pemanasan Global’, silahkan klik sini: Wikipedia 
** Ppm = parts per million / bagian per sejuta, adalah satuan untuk kandungan gas tertentu di udara. Berdasarkan Observatorium NOOA / Mauna Loa. Data publikasi 11 november 2009
*** Pengasaman laut, lihat posting terdahulu Laut Kita dengan kategori ‘Pengasaman Laut / Ocean Acidification’

    Referensi
    - Carpenter, K., M. Abrar, G. Aeby, R. Aronson, S. Banks, A. Bruckner, A. Chiriboga, J. Cortes, J. Delbeek, and L. DeVantier. 2008. One-third of reef-building corals face elevated extinction risk from climate change and local impacts. Science 321:560. 
    - Hoegh-Guldberg, O., P. Mumby, A. Hooten, R. Steneck, P. Greenfield, E. Gomez, C. Harvell, P. Sale, A. Edwards, K. Caldeira, N. Knowlton, C. Eakin, R. Iglesias-Prieto, N. Muthiga, R. Bradbury, A. Dubi, and M. Hatziolos. 2007. Coral Reefs Under Rapid Climate Change and Ocean Acidification. Science 318:1737-1742.
    - Veron, J. E. N., O. Hoegh-Guldberg, T. M. Lenton, J. M. Lough, D. O. Obura, P. Pearce-Kelly, C. R. C. Sheppard, M. Spalding, M. G. Stafford-Smith, and A. D. Rogers. 2009. The coral reef crisis: The critical importance of <350 ppm CO2. Marine Pollution Bulletin 58:1428-1436.