Rabu, 30 September 2009

Hanya satu tong sampah untuk sebuah kapal kargo 500 ton.


Teman saya berbagi sebuah wacana tentang lemahnya komitmen pengelola kapal dan perusahaan terkait dalam menjaga lingkungan Laut:

Standar keamanan kapal dan fasilitas pelabuhan internasional (ISPS Code) merupakan peraturan minimum keamanan internasional untuk pelabuhan dan kapal. Kode ini secara internasional digalakkan sejak 2004 terkait dengan serangan 11 September di AS. Tidak lain tidak bukan, AS hanya ingin kapal-kapal yang diijinkan bersandar di pelabuhan mereka datang dari palabuhan yang menerapkan kode ini.

Bagaimana dengan Indonesia? Penerapan ISPS baru diterapkan sejak 2005, hasil tinjauan United States Coast Guard (USCG) di 2008 baru bisa mengizinkan 16 pelabuhan di Indonesia. Sisi baik yang pribadi saya lihat dari penerapan aturan ini, terutama dalam kesadartahuan keamaan dalam bekerja dan kelestarian lingkungan.

Saya bekerja di sebuah pelabuhan di Cilegon, Banten. Secara subjektif, saya menilai di sana bahwa ISPS Code hanya sekedar pelengkap untuk meningkatkan grade pelabuhan tersebut agar disebut sebagai pelabuhan 'internasional'. Namun dimplementasi-nya belum berjalan, contohnya pada pengelolaan sampah kapal.

Di negara lain, apa bila kedapatan kapal membuang sampah (baik padat ataupun cair) kelaut, maka kapal tersebut tidak di perbolehkan untuk berlabuh di seluruh dermaga pada negara tersebut selama 6 bulan sampai 3 tahun. Inilah alasan yang mendorong setiap pengelola kapal menyediakan dana tambahan untuk menampung sampah dan membuangnya ketika telah sandar di suatu pelabuhan.

Di Indonesia, jelas beberbeda. Saya sering kali melihat kapal besar milik BUMN (Semen Gr**ik) seperti MV Yu**co dan MV Ce**in, menyediakan tampungan sampah hanya sebuah drum (bertuliskan PER***INA ) dikaitkan di belakang kapal dan diposisikan diluar badan kapal menghadap laut langsung.

Bisa dibayangkan untuk perjalanan Gresik - Cigadig yang memakan waktu berapa hari (baik perjalanan dan menambat), apakah cukupkan satu tempat sampah untuk menampung sampah selama itu?. Belum menghitung tambahan limbah cair jika memang drum itu di tujukan untuk limbah padat saja, kemanakah dibuangnya?

Laut pun jadi korban. Tabiat kapal semacam ini nampaknya tidak sedikit, dan nampaknya tidak ada yang terkena sangsi larang labuh hingga saat ini, sejauh yang saya amati.

Satu pengalaman lagi ketika saya sedang melakukan preventive maintenance di suatu bagian pelabuhan sandar MV (merchant vessel/kapal dagang). Saya melihat seorang ABK sedang melakukan prosedur pembuatan barrier / penghalang, agar tumpahan oli tidak menyebar di laut. Janggalnya, saya lihat ABK tersebut sedang menggunakan majun ( kain perca yang dijahit menjadi satu ) untuk mengelap ceceran oli dan grease di lantai. Ternyata, mereka memasang barrier hanya sepenuhnya mengelilingi geladak kapa, sehingga bagian yang tidak terpasang barrier menjadi jalan keluar oli menyebar ke permukaan laut luas.

Dikala kesibukan si ABK, saya bertanya “Sedang apa Pak?”; ABK menjawab, “Lagi ngasih makan ikan”, sembari berusaha membersihkan ceceran oli di laut menggunakan majun yang di ikat tali kemudian di celupkan ke air diterjen kemudian di lemparkan ke arah ceceran oli di laut.

Sangat disayangkan. Sebab, di pelabuhan tempat saya bekerja, yang tiap hari kapal besar membawa bijih bisi bersandar; masih bisa dijumpai terumbu karang di beberapa titik. Berapakah keuntungan yang didapat bagi mereka yang menjalankan perusahaan ini? Berapakah banyakkah kejadian semacam ini di Indonesia tiap harinya?

Kustiaditya Wiguna

Jangan tunggu Laut marah, karena kita semua berpura-pura buta dengan hal seperti ini.



Bahkan negara maju seperti Jepang, di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif-nya bisa kecolongan jadi 'bak sampah laut' selama 15 dari Korea Selatan. Bagaimana dengan Indonesia?
(Foto: www.japanprobe.com)

Tidak ada komentar: