Sabtu, 15 Agustus 2009

Perikanan Kita yang tak terkendali dan merusak - 2


Digubah kembali berdasarkan tulisan Nirmal Ghosh,pertama kali di-publish di The Straits Times (http://www.straitstimes.com).

Laporan terkini Status Perikanan dan Akuakultur Dunia dari FAO memperkirakan bahwa lebih dari setengah milyar orang terlibat dalam industri perikanan dan akuakultur dimana sebagian besar berlangsung di Asia.

Di dunia, ikan mensuplai 15 persen dari dari rata-rata konsumsi protein hewani per kapita. Namun, di kebanyakan negara berkembang kecil seperti Indonesia, Bangladesh, Kamboja, Guinea Ekuator, French Guiana, Gambia, Ghana, Sierra Leone; angka tersebut bisa mencapai 50 persen.

Terkait dengan ini, kajian ilmiah menyatakan bahwa lingkungan laut saat ini dalam status diambang kelumpuhan (collapse). Jika kita tidak segera bertindak, dalam kurun waktu 50 tahun - rentang waktu anak-anak dan remaja saat ini - sebaran seafood yang kita konsumsi saat ini akan menurun dan tergantikan hingga sebatas spesies-spesies yang diternakkan secara artifisial dan limpahan ikan tergantikan oleh ubur-ubur.


Memancing habis ikan. Ikan laut ekonomis seperti Kerapu, Kakap, Ekor Kuning semakin sulit ditemui. Mereka yang umumnya menduduki rantai makanan atas di terumbu (ikan predator, karnivora) sudah hampir habis - Indonesia jelas tidak luput akan keadaan ini. Foto diatas adalah Ikan Kakatua (Famili: Scariidae), dijaja di pasar swalayan terkemuka H**O, di salah satu Mall terkemuka di kawasan Pondok Indah, Jakarta. Melihat ukurannya, mereka masih tegolong juvenil/muda, belum sempat dewasa dan berkembang biak sudah ditangkap Kita. Di laut, ikan ini adalah herbivor - pemakan tumbuhan, mereka tinggal di kawasan terumbu karang, bertugas 'memangkas' algae-dan rumput laut agar tidak tumbuh menutup karang. Habisnya ikan predator, membuat Kita mengincar herbivor untuk dijual. Hilangnya ikan herbivor, berarti karang akan lebih mudah 'kalah' dalam kompetisi ruang dengan alga dan rumput laut dan lebih sulit untuk pulih ketika diterpa kerusakan fisik manusia. JANGAN MAKAN IKAN INI.
(Foto: Siham Afatta)

Dr Sylvia Earle, disebut majalah Time sebagai "Hero of the Planet", oseanografer wanita yang telah memimpin lebih dari 50 ekspedisi ternama selama 4 dekade terakhir, dan lebih dari 6000 jam di bawah laut; berpesan "Kita telah merubah wujud lautan kita sejalan dengan usaha kita yang terus meningkat, tak terhentikan dan merusak dalam mengejar cadangan seafood kita yang terus semakin menipis."

Beliau juga berkata: 'Hanya dalam kurun waktu 50 tahun, umat manusia telah mampu menghabisi lebih dari 90 persen ikan besar di dilautan. Disertai dengan separuh terumbu karang dunia yang telah hilang."

Terlalu banyak yang menangkap. Terlalu sedikit yang tersedia.
(Gambar: http://inside.isb.ac.th/)

Apakah, tingginya populasi manusia di Asia terkait dengan ini?. Tidak juga, perairan Eropa juga sama buruknya dengan Asia. Sepertihalnya armada besar pukat (trawler) dari Taiwan, Jepang dan Cina yang saat ini merambah ke perairan terbuka sebab lautan mereka sendiri sudah habis dipancing; Eropa telah lama meng-ekspor kerusakan di perairan Afrika melalui perikanan pukat-dasar-laut (bottom trawling). Pasar global juga bepengaruh dalam hal ini.

Isabella Lövin, pengarang buku Tyst Hav (Silent Sea), pernah berkata kepada harian The Strait Times: "Dua puluh persen dari subsidi bagi nelayan oleh European Union (EU) digunakan untuk membeli hak tangkap ikan di negara berkembang seperti Guienna-Bissau, Senegal, Mauritania."

"EU sempat mengadakan kesepakatan perikanan dengan Senegal hingga 2006, setelah itu terhenti, karena perairan sudah ditangkap berlebih (overfished), tak ada ikan tersisa untuk ditangkap."

"Pemicu kesepakatan perikanan semacam tidak lain karena kita (EU) telah menangkap ikan berlebih di perairan kami selama berpuluh-puluh tahun. Dalam waktu yang sama, terjadi peningkatan selera akan ikan di Eropa. Sekarang, seperempat dari ikan yang sampai di Eropa, datang dari kesepakatan macam ini."

Kasarnya, negara berkembang Afrika tidak mampu mengekstraksi secara optimal dan efisien 'kebun laut' mereka sendiri, bahkan pangsa pasar bukan mereka yang menentukan, melainkan Eropa melalui EU. Untuk Indonesia, apakah keadaan semacam ini bisa terjadi?

Mungkin saja sudah. Dipetik langsung dari COMMIT Tahun 2008 investasi sektor perikanan Indonesia 100 % bersumber dari Penanaman Modal Asing (PMA) dan kurun waktu 2006 – 2009 menurun 5,6 %. Salah satu alasannya ialah karena BUMN Usaha Mina tak mampu mendapatkan bahan baku ikan tuna yang mencukupi untuk industrinya (Suhana, 2009).

Alasan kekurangan bahan baku tak berdasar karena sekitar 433.512,39 ton (93,83 %) produksi tuna tak ketahuan rimbahnya (Suhana, 2009). Mengapa? Karena, tahun 2006 volume ekspor tuna nasional hanya 35.459,96 ton (6,17 %) dari produksi total 575.087,85 ton (Suhana, 2009). Jadi, alasan kekurangan bahan baku untuk melepas PPMA untuk ikan Tuna tercinta kitatak masuk akal . Jika demikian kasusnya, berarti terjadi unreported fishing yang amat besar dan merugikan negara - dari pemerintah itu sendiri.

Apakah mungkin ini yang dimaksud 'pengambilalihan sumberdaya laut' sebagai timbal balik dukungan pengelolaan kawasan konservasi laut oleh lembaga – lembaga internasional oleh The Nature Conservation (TNC), Wold Wild Foundation (WWF) dan Conservation International (CI) dalam skema Coral Triangle Inititives? Penulis tidak bisa berkomentar lebih banyak mengenai hal ini.

Tidak hanya bencana dari penangkapan berlebih serta pasar global yang tak henti memicu ekstraksi ikan dari laut. Lautan juga dikotori oleh jaring dan sampah yang dibuang; di suatu tempat di Samudera Pasifik, sempat terapung hamparan sampah plastik hingga sedalam 10 meter dan lebih luas dari area negara Perancis. Polusi dan pemanasan global terus meng-asam-kan laut, membunuh karang dan organisme laut berkapur lainnya.

Dua lingkaran besar kawasan 'Sup Sampah' Timur dan Barat Samudera Pasifik. Terbentang mulai perairan Jepang hingga sejauh Hawaii. Lapisan 'Sup Plastik' ini yang tidak terurai ini terus berputar didorong oleh arus Gyre Pasifik Utara, dan bisa mencapai kedalaman hingga 10 meter. (Diagram: GreenPeace)

Dan ketika ikan sudah habis mati, industri seafood, sebagai lingkaran setan yang terus membesar, akhirnya akan memaksa komunitas pesisir untuk berternak udang - yang mana dalam prosesnya menghancurkan mangrove, bersama dengan terumbu karang, yang keduanya merupakan ekosistem paling produktif di bumi. Sudah terjadi di Pulau Jawa.

Referensi:
- FAO. 2009. The State of World Fisheries and Aquaculture - 2008. Roma (Pranala unduh disini)
- Jackson, J. 2001. Historical Overfishing and the Recent Collapse of Coastal Ecosystems. Science 293:629-637.
- Suhana. 2009. Melawan ”Neoliberalisme” di Sektor Kelautan dan Perikanan. COMMIT.

Tidak ada komentar: