Kamis, 30 April 2009

Ekosistem Terumbu Karang yang Sudah Tidak Alami.


'Pengeboman ikan di terumbu karang'
(Benjamin De Ridder/Marine Photobank)

Terumbu karang dan hutan hujan tropis sejak dulu digunakan para ilmuwan sebagai gambaran terbaik ekosistem yang kompleks. Para 'ekolog' berharap dari sana mereka bisa menguak fakta tentang bagaimana seluruh spesies di bumi ini bisa hidup bersama (coexist). Pada awal dimulainya studi ekologi, banyak perhatian dicurahkan hanya pada struktur dan dinamika ekosistem terumbu (reef ecosystem), dan dampak manusia belum diperhitungkan. Sekitar 1960-an, konsep ekologi komunitas (community ecology) masih memandang bahwa terumbu selalu dalam kesetimbangan (equilibrium). Saat itu, kebanyakan ilmuwan masih menganggap ekosistem terumbu masih dalam status normal/alami. 


Namun, kita semua saat ini sudah tahu bahwa keadaan 'normal' terumbu dunia sudah beralih (baseline shift) dalam seabad tearkhir ini. Hal ini juga menyadari para ekolog bahwa selain sebagai ekosistem yang sangat dinamis, terumbu karang juga terus terdegradasi (keanekaragaman menurun dan kurang produktif) akibat tekanan manusia hingga kini. Isu baseline shift  pertama kali ditegaskan oleh Pauly (1995) berkaitan dengan penurunan tangkapan maksimum berkelanjutan (maximum sustainable yield) dari perikanan global. Terlalu banyak ikan ditangkap tanpa memberi kesempatan regenerasi bagi ikan. Analisa Jackson dkk. (2001) menunjukkan bahwa degradasi ekologi terumbu global juga diakibatkan oleh cara manusia memanen ikan dengan cara yang merusak. Sejak pemutihan karang masal (coral bleaching) tahun 1998 di kawasan Indo-Pasifik (Hoegh-Guldberg, 1999) penurunan keadaaan sistem terumbu karang dunia mencemaskan para ekolog. Sebab terumbu karang mendapat tambahan tekanan oleh perubahan iklim (climate change) Bukti terus bermunculan menegaskan manusia secara jelas berdampak pada hilangnya ekosistem terumbu karang (Hughes dkk., 2003; Pandolfi dkk., 2005; Hoegh-Guldberg dkk.,2007).


Saat ini kebanyakan ekolog tidak lagi murni mengamati proses alamiah saja, namun cenderung berfokus dampak tekanan manusia pada kelangsungan terumbu. Hingga kini pengelolaan terumbu karang, baik skala global dan lokal, masih tidak memadai walaupun terus berjalan. Pengelolaan selalu tertinggal bersamaan dengan manusia terus memberikan tekanan baru pada ekosistem ini. Masa depan mungkin terlihat samar, namun kita masih punya kapasitas untuk bekerja jauh lebih efektif dalam mengelola terumbu - jika kita mau. Untuk memberikan perkembangan yang berarti pada ekosistem laut yang berharga ini tidak perlu memerlukan penemuan ilmiah baru. Cukup dengan komitmen baru untuk menerapkan pengetahuan yang sudah ada saat ini untuk mengelola dampak yang Kita perbuat, sehingga akhirnya "manusia ramah lingkungan" bisa terwujud (Sale 2008).



'Wisatawan menginjak-injak karang'
(Georg Heiss/Marine Photobank)


Kamis, 16 April 2009

Pranala Terkait

Situs Indonesia
  • Yayasan Terumbu Karang Indonesia (Terangi) - Terangi mengajak kita terlibat dalam mewujudkan masyarakat pengelola terumbu karang, disajikan pula informasi seputar terumbu karang berbahasa Indonesia.
  • Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) - Arus utama gerakan lingkungan Indonesia saat ini. Dengar, simak, dan sampaikan suara kepedulian Kita.
  • Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) -  Memberikan wacana yang mengajak Kita untuk peka akan kelemahan sistim peradilan di negara Kita yang menekan masyarakat pesisir dan lepas tangan akan degradasi lingkungan pesisir
  • Go Blue Trendsetter Indonesia - Yayasan Reef Check Indonesia mengajak kita membangun trend cinta laut serta menyediakan akses informasi yang mudah untuk bisa terlibat di dalam konservasi laut dan pesisir serta ekosistem terkaitnya.
SItus Internasional
  • World Database on Marine Protected Area - Sistem online untuk melihat dan mempelajari Daerah Perlindungan Laut yang ada saat ini di dunia.
  • Dapatkan informasi seputar kawasan Segitiga Karang (Coral Triangle) dari situs World Wildlife Fund dan The Nature Conservancy.
  • ReefBase - akses mudah dan gratis untuk data dan informasi sputar lokasi, status, ancaman, pemantauan dan pengelolaan sumber daya terumbu karang dari 100 lebih negara dan kawasan.
  • FishBase - 'Google'-nya Ikan, tercatat didalamyna 31200 spesies, 276500 nama umum (common name), 48000 gambar, dan 33 juta pengunjung tiap bulannya.
  • AlgaeBase - 'Google'-nya Alga, basis data informasi tentang Alga, baik daratan, air tawar, maupun laut.
  • ReefVid - Database online berisi +500 video klip seputar ekosistem terumbu karang gratis tersedia untuk keperluan pendidikan dan riset. Pilih video klip, unduh ke hardisk and dan gunakan dalam slide presentasi anda.
  • Beragam pranala materi edukasi berbahasa Inggris tentang Coral (Terumbu Karang) dari NOAA (badan nasional oseanogradi dan atmosfir di AS)
  • Nudi Pixel - Database foto Nudibranch online terbesar saat ini untu identifikasi dan informasi seputar hewan mikro nan indah ini.
Blog
  • Climate Shifts - blog yang terus meng-update berita ilmiah ketika kata terumbu karang, perubahan iklim, dan laut muncul dibenak kita. (Bahasa Inggris).
  • Ocean One - satu lagi blog ilmiah pribadi dari kolega saya Yusuf Awaludin seputar oseanografi - patut untuk ditengok dan menjadi wacana Kita.
  • Pulau Hantu - blog inisiatif beberapa penyelam Singapura untuk mempromosikan kesadartahuan lingkungan dan kelestarian pulau lokal melalui media blog dan membagi cerita pengalaman dan alam pulau Hantu di Singapura. (Bahasa Inggris)
Sampaikan kami jika ada pranala / link yang kami mungkin lewatkan di kolom komentar dibawah atau ke lautkita@gmail.com


Terima kasih atas informasinya

Coral Triangle Initiative: Komitmen Terbesar Kita Saat Ini untuk Terumbu Karang?

'Coral Triangle Boundaries'
J.E.N Veron/Coral Geographic

Dalam posting sebelumnya (klik di sini) terkutip beberapa kemunduran dalam konservasi karang antara 2004-08. Namun, Wilkinson (2008) juga menyebutkan beberapa langkah positif dalam politik dan ekonomi oleh beberapa negara, termasuk Indonesia. 


Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, mengawali Inisiasi Segitiga Karang / Coral Triangle Initiative (CTI) dalam surat resmi ditujukan kepada Convention on Biological DIversity (CBD) Conference of The Parties di Brazil tahun 2006 lalu. Beliau menyampaikan pentingnya konservasi kawasan Coral Triangle (CT) sebagai bagian usaha masyarakat global untuk menekan penurunan biodiversitas di kawasan tersebut. Agustus 2007 beliau mengundang 7 pejabat baik regional dan luar negeri untuk menandatangani 'Inisiatif Segitiga Karang untuk Terumbu Karang, Perikanan, serta  Ketahanan Pangan' dengan tujuan bersama melestarikan kawasan tersebut untuk menjaga nilai-nilai ketahanan pangan dalam perikanan regional. Inisiatif tersebut secara resmi diliuncurkan dengan dukungan 21 pejabat tinggi dalam Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) Summit di Sydney, September 2007.  


Kawasan  CT mencakup Zona Ekonomi Esklusif Indonesia Tengah dan Timur, Timor Leste, Filipina, Borneo Malaysia, Papua Nugini dan Kepulauan Solomon. Meskipun hanya melingkupi 2% dari lautan dunia, kawasan ini merupakan 'kawasan inti/hotspot' biodiversitas global dimana terdapat lebih dari 75% spesies karang, 35% terumbu karang dunia, sekitar 3000 lebih spesies ikan serta area bakau/mangrove terluas di dunia. Kawasan Segitiga Karang juga merupakan nursery ground dan rute migrasi bagi tuna dan billfish, paus, lumba-lumba, pari manta, hiu paus, dugong dan banyak lagi mamalia laut. Kesemuanya merupakan sumberdaya pendukung sosioekonomi bagi 120 juta orang dikawasan tersebut, dimana sebagian besar bergantung sepenuhnya pada biodiversitas sumberdaya tersebut.kawasn ini juga  memiliki nilai ekonomis tinggi bagi negara-negara yang bergantung pada perkanan tuna dan pariwisata bebasis alam, ditambah lagi dengan mangrove dan terumbu karang yang melindungi garis pesisr yang sensitif akan kerusakan akibat tsunami. Total estimasi nilai Terumbu Karang di kawasan ini setiap tahunnya mencapai US$ 2.3 milyar.


Saat ini terumbu karang terus mengalami degradasi yang cukup besar akibat polusi, over-fishing (penangkapan  ikan berlebih), termasuk praktek perikanan merusak dan ilegal; pembangunan pesisir yang tidak ramah lingkungan dan deforestasi; serta perubahan iklim - kesemuanya dipengaruhi aktifitas populasi besar manusia - dimana telah ditengahkan kriteria utama untuk dalam dalam aktivitas CTI antara lain:

  • Mendukung inisiatif yang berorientasi masyarakat dalam konservasi biodiversitas, pembangunan ramah lingkungan / sustainable development, pengentasan kemiskinan dan kesetaraan pembagian keuntungan (equitable benefit sharing);
  • Aktifitas konservasi berdasarkan sains/ilmiah yang reliable;
  • Kegiatan yang terpusat pada tujuan kuantitatif dan penetapan pada tingkatan politik tertinggi;
  • Menggunakan forum-forum yang sudah ada atatupun akan dibentuk dalam melaksanakan implementasi;
  • Mensejajarkan dengan komitmen-komitmen regional dan internasional;
  • Menyadari keadaan transboundary akan keberadaan sumber daya alam laut ini;
  • Mengedepankan prioritas geografis;
  • Berkerjasama dengan beragam stakeholder;
  • Memahami keunikan, kerapuhan dan kerentanan ekosistem kepulauan.


Langkah awal dari CTI ialah untuk mengamankan pendanaan yang sudah berjalan serta menetapkan rencana untuk menjamin pendanaan untuk jangka panjangnya; yang kemungkinan didapat melalui dana hibah, dana kelembagaan atau anggaran nasional. Saat ini CTI didukuing oleh Global Environmental Facility, Asian Development Bank, Pemerintah AS dan Australia; serta melalui kemitraan unik antara 3 NGO besar, World Wildlife Fund (WWF), the Nature Conservancy (TNC), dan Conservation International (CI); dengan dana hingga kini sebesar US$ 300 juta. Negara-negara CTI akan membutuhkan dukungan donor serta lembaga eksternal dan kesuksesannya hanya bisa dijamin jika dunia menanggapi ancaman jangka panjang dari perubahan iklim dengan serius.


Referensi: Wilkinson, C. (2008) Status of Coral Reefs of The World: 2008. Global Coral Reef Monitoring Network and Reef and Rainforest Research Centre, Townsville, Australia, 296 p. 

Selasa, 14 April 2009

Terumbu karang yang tersisa dan terancam.


'Healthy and Sustainable Reef'
 (ARC Centre of Excellence for Coral Reef Studies/Marine Photobank)

Kita telah kehilangan sekitar 19% dari tutupan terumbu karang di dunia saat ini; diestimasikan 15% terancam akan hilang dalam kurun waktu 10-20 tahun mendatang; dan 20% akan hilang dalam 20-40 tahun. Estimasi terebut dibentuk berdasarkan opini para ahli, terdiri dari 372 ilmuwan terumbu karang dan pengelola dari 96 negara. Dua estimasi disebutkan sebelumnya, dibentuk dalam skenario 'kegiatan manusia sperti biasanya / business as usual' dan belum memperhitungkan ancaman dari perubahan iklim global atau pengolalaan yang efektif di masa depan dalam pelestarian karang. Namun, 46% dari terumbu karang dunia saat ini dalam keadaan relatif  'sehat' dan tidak dalam ancaman perusakan yang berarti, kecuali ancaman iklim global yang 'tidak bisa diprediksi saat ini'.

Selaku editor, Wilkinson juga merangkum kemunduran yang terjadi dalam kurun waktu 4 tahun (Sejak laporan status 2004 hingga 2008) serta sedikit proyeksi kedepan, antara lain:
  • Gempa dan tsunami di Samudera Hinda tanggal 26 Desember 2004, mengakibatkan  kerusakan di ekosistem pesisir, namun tidak sebanding dengan jumlah korban jiwa (±170.000). 70% armada perikanan hilang, akuakultur gagal, 30% terumbu karang di kawasan hepasan tsunami rusak parah. Demikian juga pada ±600 hektar lamun dan 85.000 hektar mangrove, hilang.
  • 2005 merupakan tahun terpanas di belahan bumi Utara sejak setelah 1998 dan telah mengakibatkan pemutihan karang masal dan badai sepanjang luasan Karibia di 2005, mematikan banyak karang, juga merusak kawasan terumbu terkait.
  • Degradasi terus berlanjut bagi karang yang dekat dengan pusat populasi manusia dalam bentuk hilangnya tutupan karang, populasi ikan dan kemungkinan terhadap biodiversitas.
  • Bukti terus bertambah akan dampak langsung perubahan iklim global pada terumbu karang dengan bukti jelas bahwa meningkatnya keasaman laut (ocean acidification) akan menyebabkan kerusakan lebih besar pada terumbu di masa depan.
  • Kajian sosio-ekonomi banyak digunakan sebagai pendekatan dalam pengambian keputusan dalam pengelolaan terumbu karang. Hal ini ditujukan untuk memperkuat dan menghidupkan struktur pengelolaan tradisional, khususnya di kawasan Pasifik.
  • Namun, degradasi terumbu karang akan memberikan konsekuensi yang tak terduga bagi sekitar 500 juta orang yang bergantung pada terumbu karang untuk makan, perlindungan pesisir, bahan bangunan dan pendapatan dair pariwisata. Ini juga termasuk 30 juta orang yang secara langsung bergantung total pada terumbu karang untuk mata pencaharian mereka atau tempat dimana mereka tinggal (atoll).
  • Permasalahan bagi coral reef managers (pengelola terumbu karang) juga meningkat, dimana diperkirakan 50% populasi dunia akan hidup sepanjang pesisir di tahun 2015, menambah tekanan yang tidak berkesinambungan bagi sumberdaya pesisir. Terumbu yang mereka kelola akan menjadi kurang atraktif namun lebih kuat. Meningkatnya harga pangan dan bahan bakar, komersialisasi aktifitas perikanan dan krisis finansial global akan menambah overfishing (penangkapan berlebih) dan habisnya stok ikan bagi negara-negara miskin; dan
  • Solusi masih tetap dengan membangun Daerah Perlindungan Laut (Marine Protected Areas / MPA) yang saling terkait dalam jejaring serta pengelolaan oleh semua pemangku azaz, khususnya komunitas pengguna.
Referensi: Wilkinson, C. (2008) Status of Coral Reefs of The World: 2008. Global Coral Reef Monitoring Network and Reef and Rainforest Research Centre, Townsville, Australia, 296 p. 

Minggu, 12 April 2009

Karang Kita selepas 2008

Masa depan cerah bagi terumbu karang?

Dalam waktu dekat ini saya akan mencoba posting beberapa saduran pribadi saya dari buku laporan Status of Coral Reefs of the World: 2008. Buku ini berisi laporan global dari GCRMN (Global Coral Reef Monitoring Network) yang dibentuk sejak 1995. Di halaman pengantar buku tersebut tertulis hal yang menarik, dimana tercetusnya GCRMN dikarenakan 'ketidakmampuan badan international untuk memberikan laporan yang obyektif tentang kesehatan terumbu karang global'.

Buku Laporan ini sudah memasuki edisi ke-5 (sebelumnya 1998, 2000, 2002, 2004) dan masih dalam editorial Clive R. Wikinson. Buku ini cukup komprehensif dalam kontennya, dimana 372 ahli dari 96 negara berkontribusi Status Report (Laporan Status) ini. Beberapa hal yang ingin saya kutip ialah:
  • Bagaimanakah status terumbu karang dunia dan pengelolaanya hingga 2008 kemarin?
  • Apakah isu terkini terumbu karang terkait dengan climate change (perubahan iklim)?
  • Apakah Inisiasi Segitiga Karang (Coral Triangle Initiative - CTI)?
  • Apakah tantangan kita (Indonesia) akan CTI?
  • Bagaimanakah status terkini terumbu karang di Asia Tenggara (South East Asia - SEA) dan khususnya Indonesia?
Semoga di sela-sela kesibukan riset saya saya bisa segera menyampaikan informasi diatas, namun bulan April 2009 ini saya targetkan tersampaikan. Sekedar mengingatkan juga bahwa bulan Mei 2009 ini Indoneisa akan menggelar World Ocean Conference di Manado. Semoga hingar-bingar persiapan even internasional ini juga dibarengin dengan kewaspadaan, kesadartahuan dan komitmen kita tentang isu lingkungan Laut terkini, khususnya Terumbu Karang.