Kamis, 31 Desember 2009

Ada 3 Kado Bagi Nelayan Dari Pemerintah Di Akhir Tahun 2009


Posting ulang dari Kiara Foundation, untuk menambah kepekaan Kita akan hubungan sosio-ekologis manusia dengan laut Indonesia saat ini.
Toto M - Kiara Foundation

"Dipenghujung tahun 2009 ini ada tiga kado keprihatinan bagi nelayan dan masyarakat pesisir. Hal itu terungkap dalam acara ‘Refleksi Kelautan Perikanan 2009 dan Proyeksi 2010’ yang digelar oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), yang dilangsungkan di hotel Cemara jalan Cemara I Menteng Jakarta Pusat hari ini (30/12).

KIARA mengatakan, bahwa ketiga kado yang dimaksud itu adalah, yang pertama National Summit. Karena menurut KIARA, 19 butir National Summit program ekonominya dalam sektor kelautan dan perikanan bukan kepada nelayan tradisional melainkan mengarah kepada industri dan investasi. Sehingga hal itu akan merugikan bagi nelayan tradisioal dan masyarakat pesisir."

Foto: Rebecca Weeks/ARC Centre of Excellence for Coral Reef Studies
 Nelayan tradisional menangkap ikan di kawasan terumbu karang dengan alat sederhana dan perahu kayu, kadang bermotor. Ikan besar sudah diambil lebih dahulu oleh armada tangkap modern. Sehingga ikan yang belum dewasa sjadi tangkapan akhir bagi nelayan tradisional, mengancam siklus regenerasi populasi ikan.

Kegiatan semacam ini  umum dijumpai di kawasan konservasi (Taman Laut Nasional) di Indonesia. Kebutuhan mereka  untuk makan sehari-hari dan jualan ikan semakin tertekan dengan peraturan konservasi yang melarang penangkapan ikan di kebun mereka. Tidak jarang kegiatan mereka berdampak negatif pada habitat ikan itu sendiri - terumbu karang.

Gencarnya peraturan dan praktik konservasi laut cenderung menutup pintu bagi nelayan tersebut, dengan alternatif mata pencaharian yang sangat minim bagi nelayan, sehingga konflik konservasi terus berlanjut. Meskipun demikian, keuntungan perikanan Indonesia pada umumnya larinya masih ke pemerintah dan pengusaha internasional, sangat sedikit yang ke nelayan.  30 tahun sudah peraturan perikanan Indonesia berevolusi, nelayan masih saja dipinggirkan dalam pasar perikanan.
"Kado yang kedua lanjut KIARA, adalah Copenhagen Accord, sebagai dokumen KTT iklim ke 15 yang dinilai melemahkan negara kepulauan dan memperparah kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir."

 Bahkan negara-negara yang menyumbang emisi karbon terbesar di dunia seperti: Amerika Serikat, China, Australia, India, dan negara Uni-Eropa; masih saja sulit untuk menyepakati target penurunan emisi 2020 hingga 350 ppm. Semua dengan alasan ekonomi, ekonomi, ekonomi. Amerika serikat, yang menyumbang 30% emisi dunia saat ini, dengan keras hati hanya bisa menurunkan hingga 17% untuk 20 tahun kedepan. Di Copenhagen, delegasi negara-negara berkembang banyak yang kecewa dengan sikap negara-negara kaya dan maju. Saat ini konsentrasi CO2 dunia sekitar 380 ppm, terumbu karang dan biota laut lainnya agar bisa  bertahan dalam 5 dekade kedepan, memerlukan konsentrasi dibawah 350 ppm. Indonesia hanya bisa menunggu, meskipun demikian, dari dalam Kita menggerogoti Laut Kita sendiri.
"Sedangkan kado keprihatinan ketiga bagi nelayan dan masyarakat pesisir yang dimaksud oleh KIARA, adalah pembelian 150 buah mobil mewah yang diperuntukan buat menteri kabinet Indonesia bersatu (KIB) jilid II yang masing – masing diperkirakan seharga Rp 1,3 miliar.

KIARA menilai, bahwa Presiden dan Menteri tidak memiliki sensitivitas atas keprihatinan ekonomi nelayan yang merosot 40 sampai 50 persen ditahun 2009. KIARA mengatakan, seandainya dana sebesar tersebut dipergunakan untuk membeli dan membenahi peralatan untuk tangkap ikan bagi nelayan, maka 10 ribu keluarga nelayan dapat menangkap ikan dengan lebih baik."

 "Selamat Tahun Baru 2010"
Foto: Sterling Zumbrunn / Conservation International

Minggu, 20 Desember 2009

Rumah baru gurita masa kini: Batok kelapa.



Rabu, 16 Desember 2009 | 17:28 WIB

*SYDNEY, KOMPAS.com*– Para ilmuwan Australia telah menemukan gurita di Indonesia yang mengumpulkan batok kelapa untuk dijadikan rumah. Ini bisa jadi merupakan penemuan perilaku tingkat lanjut yang pertama bagi binatang invertebrata (tanpa tulang belakang) yang mampu memakai alat.

Para ilmuwan memfilmkan gurita *Amphioctopus marginatus *itu yang tengah memilah kumpulan batok-batok kelapa di dasar lautan, mengosongkan isinya, dibawa di bawah tubuhnya sejauh 20 meter, dan kemudian mengatur dua batok sehingga membentuk bola tempat bersembunyi.

Julian Finn dan Mark Normann, dari Musium Victoria di Melbourne, selama beberapa kali mengunjungi Sulawesi Utara dan Bali untuk menyelam, antara periode 1998 sampai 2008, telah melihat aktivitas janggal dilakukan oleh empat gurita berbeda. Penemuan mereka diterbitkan, Selasa (15/12/2009) di majalah Current Biology.

"Saya sampai tercengang," kata Finn, seorang peneliti pakar biologi dari musium yang berspesialisasi pada Cephalopoda. "Maksudku, aku sering melihat gurita bersembunyi di balik batok kelapa, tapi aku tadinya belum pernah melihat ada yang bisa mengambil batok, dan menariknya. Aku sampai harus menahan tawa."

Gurita seringkali memakai barang apa saja untuk berlindung. Tapi para ilmuwan telah menemukan bahwa gurita berpembuluh darah itu selangkah lebih maju karena bisa menyiapkan batok-batoknya, dengan cara membawanya cukup jauh, lalu mengaturnya di tempat lain.

"Itu adalah contoh pemakaian alat, yang mana belum pernah ditemukan pada mahluk invertebrata sebelumnya," kata Finn.

"Bedanya dari umang-umang darat ialah gurita ini mengumpulkan batok-batok untuk digunakan belakangan, jadi ketika memindahkan batok, gurita itu tak terlindungi," kata Finn. Hal ini unik karena batok itu tak langsung dipakai, berarti gurita itu bisa berpikir untuk masa depan. "Karena bisa mengumpulkan batok untuk digunakan nanti maka gurita ini unik."

Para peneliti berteori bahwa kemungkinan besar jenis gurita itu dulunya memang bercangkang. Tapi begitu manusia tahu membelah kelapa dan membuang batoknya ke laut, gurita-gurita itu menemukan cara yang lebih baik untuk berlindung, tutur Finn.

Penemuan ini berarti, karena ini menunjukkan bahwa hewan mampu untuk menunjukkan perilaku yang lebih rumit, menurut Simon Robson, lektor kepala bidang biologi tropis dari Universitas James Cook di Townsville.

"Gurita memang menonjol sebagai hewan invertebrata yang cerdas," Robson memaparkan. "Mereka memiliki indra penglihatan yang cukup berkembang dan otak yang cukup cerdas. Jadi aku rasa penemuan ini menunjukkan kemampuan perilaku rumit yang bisa dilakukan organisme ini."

Di kalangan ilmiah memang selalu ada perdebatan tentang definisi 'penggunaan alat' dalam dunia hewan, menurut Robson. Para peneliti Australia menjabarkan 'alat' sebagai barang yang dibawa atau disimpan untuk keperluan mendatang. Tapi ada juga ilmuwan lainnya yang beda pendapat, jadi sulit untuk menentukan dengan pasti apakah ini memang perilaku penggunaan alat pada hewan invertebrate atau bukan, kata Robson. Tapi biar bagaimanapun ia tetap menganggap penemuan ini sangat menarik.

"Ini satu lagi contoh yang membuat kita sadar betapa miripnya manusia dengan alam. Kita hanyalah perpanjangan dari planet ini," tandasnya.

Senin, 14 Desember 2009

Semarang tenggelam akibat kenaikan tinggi muka air laut (TMAL).

Demikian penelitian Sistim Informasi Geografis (SIG) yang dilakukan Marfa’I dan King mensimulasikan dua skenario kenaikan tinggi muka air laut (TMAL) sebesar 120 cm dan 180 cm pada  pesisir Semarang.


(a) Pesisir semarang saat ini, (a1) kawasan tambak, (a2) kawasan bangunan.
Foto: Marfa’i & King, 2008.

Pesisir Semarang dalam simulasi kenaikan TMAL:

(atas) Hasil simulasi kenaikan TMAL 120 cm, dan (bawah) 180cm. Inundated area (daerah terendam). Gambar: Marfa'i & King 2008.

Kita tidak tahu pasti seberapa cepat kenaikan TMAL di waktu mendatang. Pastinya, dalam satu abad ke belakang, TMAL rata-rata dunia naik antara 10-25 cm dan disebabkan oleh pemanasan global. Indonesia diprediksi akan kehilangan sekitar 34.000 km2 daratan akibat kenaikan TMAL hanya dengan 60 cm saja.

Kota besar seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya, rentan akan inundasi pesisir (perendaman pesisir atau ‘rob’), Untuk Semarang, menurunnya dataran (subsiden) akibat kosongnya rongga-rongga di bawah tanah akibat penyedotan air tanah yang berlebih, memperburuk dampak inundasi pesisir/rob.

Penurunan daratan sendiri diprediksi menyebabkan bertambahnya luasan daratan Semarang yang terendam air laut dari 362 hektar di 2010, ke 1377.5 hektar di 2015; hingga 2227 di tahun 2020. Sadar, tidak disadari, acuh tak acuh, di Semarang sekitar 72.000 penduduk tinggal dibawah muka air laut seperti di Tambak-harjo, Tawang-sari, Panggung-lor, Bandar-harjo, Tanjung-mas, Terboyo Kulon. Serasa di Belanda.

Jika kedua skenario diatas terjadi maka sekitar 2000 hektar industri tambak dan juga bangunan akan terkena dampak. Hilangnya 700 – 900 hektar daratan terbuka dan 500 – 700 hektar kawasan pertanian dan perkebunan. Kerugian ekonomi: (silahkan isi).

Sejauh mana Kita telah mengantisipasi ? Tengok hasil dokumentasi Marfa’I dan King (2008) dibawah.



(a) Akankah kita terus meninggikan tembok penghalang air rob?. (b) akankah kita akan terus meninggikan rumah kita ?. (c) akankah kita terus memompa keluar air yang masuk? (d) akankah kita terus mengalihkan air yang membanjiri kota?. Foto:Marfa'i & King 2008.

Percaya atau tidak dengan pemanasan global, yang pasti, alam sedang berubah dan Kita merasakan.

Saat artikel ini ditulis, di Copenhagen sedang berlangsung 14 hari Konferensi Perubahan Iklim Dunia, dimana para petinggi negara maju mencoba menyepakati penurunan emisi CO2 mereka. Indonesia menunggu hasil saja, dan dampak emisi CO2 negara maju satu abad keblakang saat ini Kita di yang tropis  merasakan.

Jangan pusing terlalu jauh memikirkan untuk menghentikan dampak perubahan iklim duni. Tengok Laut disekitar Kita yang terus terdegradasi. Indonesia memiliki paket lengkap keanekaragaman hayati disertai dengan beragam kerusakan akibat Kita sendiri.

Ikan di Laut Kita  terus menurun jumlahnya. Kita terlalu banyak mengambil dari Laut. Tahun 2004-2005, sebesar12.5% perikanan nasional datang dari negara lain. Mengenaskan. Bahkan tahun 2008 kita mengimpor garam. Sudah jelas ada yang salah dalam cara Kita mengelola sumberdaya Laut Kita.

Dalam kurun waktu 10-15 tahun terakhir, Thailand, Filipina, Taiwan, Korea, Panama, Cina, Vietnam, Malaysia, Kamboja, Myanmar, dan beberapa negara lainnya ‘berlangganan’ mencuri ikan di laut Kita. Segala Undang-Undang karya pemerintah kita sejak tahun 80’an gagal dan tidak efektif menangkal kejahatan perikanan asing di perairan Kita.

Kita berteriak dengan kencang ketika Pakaian Nasional dan Tarian Adat kita direbut Negara tetangga. Namun secara tidak disadari, ikan Kita terus hilang dan berkurang, pesisir semakin tercemar dan rusak, nasib nelayan dan masyarakat pesisir dan pulau kecil semakin mengenaskan. Parahnya, Kita membiarkan mereka yang memiliki wewenang dalam mengatur semua ini - terkadang dalam nuansa korup.

Sejauh inikah kemanusiaan dan nasionalisme Indonesia saat ini ?

Apakah Kita saat ini berbondong-bondong menuju krisis Ikan 2015 dan terendamnya pesisir?
------------------------
Referensi:
  • Damanik, R., Suhana, and B. Prasetiamartati. 2008. Menjala ikan terakhir(Sebuah fakta krisis di laut Indonesia). D. Setiawan, editor. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Jakarta. (Gratis unduh file PDF disini)
  • Marfai, M. and L. King. 2008. Potential vulnerability implications of coastal inundation due to sea level rise for the coastal zone of Semarang city, Indonesia. Environmental Geology 54:1235-1245.
  • Nicholls JR, Mimura N (1998) Regional issues raised by sea-level rise and their policy implications. Clim Res 11:5–18
  • IPCC
  • Kompas. 24 Agustus 2009. Indonesia mesti malu, masa garam dan ikan harus impor.

Jumat, 20 November 2009

Anak karang vs Lautan asam

Dwi Haryanti

Bulan Maret lalu saya mendapatkan kesempatan untuk turut serta dalam sebuah riset di lapangan untuk mengamati spawning masal karang. Saya bersama beberapa rekan ditempatkan di sebuah pulau kecil di bagian timur kepulauan Karimunjawa. Kesempatan langka yang sudah lama saya nanti-nantikan, karena sebagai mahasiswa sains yang selalu berkutat dengan topik-topik mengenai biologi dan reproduksi karang, saya sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuk telur karang secara langsung.

Coral spawning SUPER slick - kumpulan telur, embrio dan larva yang terapung di Scott's Reef, Great Barrier Reef Australia(James Guest, Jurnal Science, 2008) 

Anda pernah melihat telur karang?

Jika Anda beruntung, pada hari-hari di sekitar bulan purnama, di musim-musim peralihan (dalam hal ini, di Indonesia, yang saya ketahui sekitar bulan Maret-April dan Oktober-Novenber) mungkin Anda akan menemui satu malam dimana laut menebarkan bau amis, dan terlihat semacam slick berwarna pink-orange mengapung di laut ataupun terbawa arus menuju pantai dan dermaga. Saat itulah karang sedang melakukan spawning masal. Masyarakat lokal di Karimunjawa menyebutnya “Tai Arus”, mungkin karena bau amisnya, dan warnanya. Namun dengan begitu saya jadi lebih mudah mengingatnya :)

Telur karang dilepaskan bersama-sama dengan satu tujuan: memperbesar kesempatan sebuah generasi baru untuk hidup dan tumbuh. Ada banyak tantangan yang harus dihadapi calon-calon anak karang yang baru dilepaskan. Selain hempasan ombak ke pantai yang berpotensi menggagalkan mereka untuk hidup, ada juga predator seperti ikan. Yang berhasil dibuahi akan berkembang menjadi satu individu baru bernama ‘planula’.

Sebelum menempel ke dasar perairan dan membentuk koloni karang, planula akan mengembara mencari tempat yang cocok untuk menetap. Badannya yang dibekali dengan kandungan lemak memiliki dua fungsi, pertama sebagai pengatur daya apung (Ya, benar, meski sangat kecil, mereka juga aktif berenang, dengan bulu-bulu getar mikroskopis), dan juga sebagai cadangan makanan. Satu tantangan tersendiri untuk para planula pengembara agar dapat menemukan tempat baru sebelum cadangan makanan mereka habis. Dan belum berhenti disitu, karena setelah settle atau menempel, planula akan mulai bermetamorfosis, membentuk polip (bentuknya tidak akan seperti telur lagi, melainkan akan berubah menjadi seperti mangkok, dengan mulut dan tentakel), dan membangun kerangka kapur.


Tahapan metamorfosis planula, dari bentuk telur lonjong, hingga polip kerangka kapur muda.

Terumbu karang, yang kita lihat sebagai taman bawah laut berwarna-warni, seperti yang kita ketahui, komponen penyusun utamanya tak lain adalah hewan-hewan karang kecil yang mengendapkan kerangka kapur hingga dalam berbagai bentuk dan rupa. Merekalah planula-planula pengembara yang berhasil bertahan hidup. Dalam siklus hidupnya, fase metamorfosis planula menjadi polip dapat dikatakan sebagai tahapan yang sangat rentan. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa keberhasilan metamofosis sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, seperti suhu, pencahayaan-kaitannya dengan radiasi sinar matahari, dan juga tingkat keasaman laut (pH). 



'Coral Spawning sata bulan purnama, Okinawa, Jepang - www.aquageographic.com

Apabila kita menyimak posting sebelumnya mengenai asidifikasi laut dan segala skenario di masa depan yang berkaitan dengan perubahan komposisi kimia lautan, maka faktor-faktor diatas perlu digarisbawahi. Laut yang asam tidak hanya mengikis perlahan terumbu karang (dewasa, jika boleh dikatakan demikian) yang sudah ada, namun juga dapat menghambat regenerasi dan pertumbuhan anak-anak karang.

 Coral spawning di Florida Keys, AS dari NOAA

Seberapa besar kelentingan atau daya tahan mereka terhadap perubahan lingkungan, dan seberapa jauh anak karang yang baru akan tumbuh dapat beradaptasi terhadap laut yang asam memang belum diketahui. Tugas kita adalah untuk mengkaji dan mengerti, lalu bersama-sama melakukan upaya-upaya untuk turut menjaganya. Menekan emisi karbon menjadi solusi yang dapat dilakukan hampir oleh semua orang. Hal kecil yang akumulasi dampaknya bisa jadi besar. Memberi kesempatan satu generasi untuk hidup.

Untuk Laut, dan untuk Kita.

Referensi:
~ Omori & Fujiwara (2004) Manual for restoration and remediation of coral reef.
~ Munasik (2002) Reproduksi seksual karang di Indonesia: Suatu kajian.
~ Kleypas et al (2006) Impacts of ocean ccidification on coral reefs and other marine calcifier 

Kamis, 19 November 2009

Perubahan Iklim, Laut, Terumbu Karang, Copenhagen, Indonesia (2)

Di posting sebelumnya Kita tahu bahwa untuk mencegah hilangnya keanekaragaman hayati laut, khususnya terumbu karang, dari pengasaman laut / ocean acidification; maka manusia mesti bisa berkomitmen untuk menurunkan kadar CO2 diatmosfir bumi dibawah 350 ppm (Veron 2009). 

Terus apa kaitannya dengan Kita sebagai Indonesia? 

Sebagai catatan. Di tahun 2006, negara pencemar atmosfir tertinggi adalah Cina, Amerika Serikat, Rusia, India dan Jepang. Sekitar 50% dari total emisi karbon buatan manusia berasal dari Cina dan Amerika dan negara Uni Eropa. Indonesia menduduki peringkat 19, tahun itu saja Kita melepas lebih dari 330 juta ton carbon ke atmosfir atau 1.2 % dari emisi karbon manusia di dunia tahun itu.

Kasarnya, jika dibagi rata, tiap penduduk menyumbang sekitar 1.5 ton karbon (CO2) ke atmosfir dalam satu tahun.

Melihat porsi sumbangan langsung 'kentut' Kita, pengaruh Kita dalam menurunkan kadar CO2 di atmosfir sangat kecil jika dibandingkan Cina dan AS satu banding lima puluh. Anggaplah  ekstrimnya, jika 10 tahun kedepan penduduk Indonesia berkomitmen tidak menggunakan listrik - balik ke jaman batu, maka kita hanya bisa andil menurunkan emisi karbon manusia sekitar 1-2%. 

Namun ini bukan menjadi alasan bagi Kita untuk tidak hemat energi. Secara tidak langsung, ketergantungan perekonomian/perdagangan kita dengan AS dan Cina, membawa kehidupan sehari-hari Kita yang berkontribusi dengan 'kentut' AS dan Cina.

Ini balik lagi ke moral dan kesadaran Indonesia. Moralnya - maukah kita memungut kotoran di tengah jalan, walapun nantinya ribuan kotoran pastinya akan berdatangan lagi - seakan sia-sia, namun berpengaruh. 

Kesadarannya - Sadarkah Kita, bahwa 'kentut' AS, Cina, Uni Eropa sedang meracuni ekosistem Indonesia melalui perubahan iklim?  

Siapkah satu-satunya warga Indonesia?

Perubahan iklim berjalan perlahan. Kejanggalan cuaca, badai, peralihan musim yang tidak menentu, air laut yang semakin mengikis pesisir; adalah dampak yang kita rasakan dari emisi karbon manusia dalam 10-20 tahun kebelakang. Dampak kadar CO2 sebesar 387 ppm yang manusia berikan pada atmosfir saat ini  akan terasa dalam perjalanan kita ke 10 - 20 tahun kedepan.

Selain dampak global perubahan iklim, dalam perjalanan Kita di tahun-tahun kedepan masih ada kemungkinan dampak lokak: kerusakan akibat bencana alam, pengambilan ikan laut yang saat ini tidak memberikan kesempatan ikan untuk regenerasi, pencemaran pesisir dan laut, perusakan terumbu karang, pembabatan lahan bakau pesisir untuk wisata dan industri, tekanan perekonomian masyarakat pesisir yang memicu mata pencaharian yang tidak bersahabat dengan alam, dan hal-hal buruk lainnya...

Daya kendali kita akan dampak global perubahan iklim sangat kecil, namun Kita punya pengaruh kuat dalam mengurangi dampak negatif lokal. Apakah wujud  dampak negatif lokal itu:

Degradasi lingkungan pesisir laut yang berkelanjutan hingga kini.

Ketika Kita hendak memancing ikan tersebut... menyantap seafood... membuang sampah..., menghembuskan asap kendaraan kita... memanfaatkan air bersih... merokok...berada di pantai / pulau / laut... mendirikan bangunan... membuat peraturan / kebijakan... memberi kepercayaan pada tokoh politik... menerima / memberikan uang pada seseorang...melepas jangkar kita, memilih dan melakukan pekerjaan Kita... tanyakan pada diri Kita:

Apakah saya dalam proses yang posisif bagi lingkungan dan anak cucu kita?


Yang tersisa di timur: Sebuah video terumbu karang di 'Raja Ampat'

Referensi 

Veron, J. E. N., O. Hoegh-Guldberg, T. M. Lenton, J. M. Lough, D. O. Obura, P. Pearce-Kelly, C. R. C. Sheppard, M. Spalding, M. G. Stafford-Smith, and A. D. Rogers. 2009. The coral reef crisis: The critical importance of <350 ppm CO2. Marine Pollution Bulletin 58:1428-1436.

Selasa, 17 November 2009

Perubahan Iklim, Laut, Terumbu Karang, Copenhagen, Indonesia (1)



Hamparan es kutub utara dan Greenland - sekarang dan nanti.
Foto: www.cedas.org/newsin3d.com

Di bulan Desember 2009 ini, sekitar 200 perwakilan Negara di dunia akan berkumpul di Copenhagen, Denmark, untuk menghadiri Konferensi Perubahan Iklim PPB. Disanalah komitmen terbesar negara-negara dunia dalam mengurangi pengotoran atmosfir Kita akan terlihat.

Terus kenapa ?.

Terus kenapa ? adalah pertanyaan yang paling wajar untuk Kita lontarkan di benak Kita sebagai orang Indonesia. Jika begitu, bersyukurlah, berarti kita masih penasaran dengan diri Kita akan sejauh mana Kita bisa melindungi Laut. Lalu, mengapa tidak sekalian saja menyelamatkan Laut Kita?.

Jika ingin menyelamatkan lingkungan Laut, misalnya seperti ekosistem terumbu karang, berarti Kita harus berkomitmen menyelamatkan diri Kita dari Kita sendiri. Lain kata, menyelamatkan manusia esok dari manusia kini.

Mengapa esok? - karena yang merasakan sejauh mana ‘selamat’-nya Laut Kita adalah anak cucu kita, bukan Kita saat ini.

Mengapa kini? – Karena baik Laut, atmosfir dan daratan, mereka memerlukan perlindungan dari ‘sel kanker’ yang saat ini terus berkembang menggerogoti, yaitu Kita sendiri, manusia.

Menjelajah laut paling dalam, terbang ke bulan, penggandaan jaringan tubuh manusia dan hewan, membuat robot seukuran sel darah, bom nuklir – semua bisa dilakukan Kita. Hingga saat kini, kita bisa merubah iklim bumi kita.

Hei, mana kelanjutan ‘Copenhagen’-nya?

Oh, maaf, kembali fokus. Jadi, Desember ini, negara-negara peserta konferensi di Copenhagen akan mencoba menyepakati protokol baru dalam mengatasi perubahan iklim* dunia dan jumlah emisi gas rumah kaca yang akan mereka dikurangi.

Dalam konteks humor,  Copenhagen bisa dibilang sebuah komitmen terbesar manusia  di negara berkembang saat ini untuk mengendalikan intentistas dan frekuensi ‘kentut’ mereka di masa depan, agar tidak meracuni ekosistem sekitar mereka.


Foto: Coral Reef Targeted Research
Terhitung 11 November 2009 ini, jumlah emisi karbon dioksida di atmosfir Kita sekitar 385 ppm**. Angka ‘bencana’ bagi manusia dan ekosistem bumi adalah 450 ppm, namun bagi terumbu karang, ternyata ini masih terlalu tinggi.

Analisa terkini Charlie Veron dan rekan (2009) menyatakan bahwa, dibutuhkan kadar emisi CO2 atmosfir dibawah 360 ppm untuk menjamin kelangsungan ekologi terumbu karang kedepannya. Untuk mengimbangi pengasaman laut*** yang saat ini sudah berjalan dibawah 385 ppm dan telah berdampak pada terumbu karang dan ekosistem laut lainnya.

Di Copenhagen, para ilmuwan bahari akan ‘mendesak’ para pemimpin dunia untuk men-target penurunan emisi hingga 320 ppm untuk menghindari pengasaman laut berkelanjutan. Mari kita pantau terus media.

Berdasarkan Veron dkk., jika target ini tidak tercapai, dampak negatif seperti: pemutihan karang masal akibat meningkatnya suhu muka laut, terhambatnya pertumbuhan karang akibat air laut yang asam – akan berlanjut. Dalam nuansa 387 ppm saat ini, jika terus bertahan hingga 10 tahun kedepan saja, maka banyak terumbu dunia akan rusak, dan tak terpulihkan.

Sebagai bonus. Dengan laju peningkatan emisi saat ini, di kisaran tahun 2030-2040, jika manusia tidak bertindak, CO2 di atmosfir bisa mencapai 450 ppm. Dengan angka ini, frekuensi pemutihan karang masal terjadi setiap tahunya, dan serentak dengan kerusakan pengasaman laut dan serta dari gejala alam lainnya (badai pesisir yang semakin sering).

Di saat itu, ikan tidak banyak bertahan karena kehilangan rumah. Komoditas ikan semakin langka dan berharga. Masyarakat yang bergantung pada sumberdaya laut kehidupannya semakin terancam. Kompetisi sumberdaya laut semakin pesat, dan konflik / destabilisasi sosial akan lebih meningkat di kalangan masyarakat yang berketergantungan tinggi dengan sumber daya terumbu dan laut. Dan berita buruk seterusnya...

Hei, stop. Ada apa dengan ‘berlagak Tuhan’ disini? Adakah mampu kita ‘meramal’ masa depan terumbu karang dan teman-temannya?

Tak ada yang bermain Tuhan. Dan untuk menjawab ini akan kontradiktif dengan idealisme ilmiah-awam blog ini. Cukup balik lagi ke hati nurani Kita saat ini yang sedang bertanggung jawab akan kelestarian kebun besar laut dengan nama Coral Triangle / Segitiga Karang ini, dan kepedulian kita dengan nasib generasi penerus kita.

Kita sekarang sedang naik mobil, kecepatan 80 km/jam. Tiba-tiba di depan kita terlihat tikungan tajam. Seketika itu juga benak ita merespon 'menjelang tikungan Kita injak pedal rem perlahan dan konsentrasi penuh untuk  berbelok dengan aman'.

‘Digdaya’-nya kemampuan ilmiah manusia saat ini dalam memprediksi iklim global tu SAMA responsifnya dengan tanggapan benak kita di uraian atas. Sehingga dengan seketika kita bisa masih mengambil keputusan untuk menghindari malapetaka. Saat ini kita sedang memasuki tikungan, nasib kita tergantung sejauh mana kemampuanKita menginjak rem dan memutar strir.

Lalu, disini apa peranan kita sebagai ‘Indonesia’ ? – akan berlanjut di bagian 2.

* Tentang ‘Perubahan klim/Pemanasan Global’, silahkan klik sini: Wikipedia 
** Ppm = parts per million / bagian per sejuta, adalah satuan untuk kandungan gas tertentu di udara. Berdasarkan Observatorium NOOA / Mauna Loa. Data publikasi 11 november 2009
*** Pengasaman laut, lihat posting terdahulu Laut Kita dengan kategori ‘Pengasaman Laut / Ocean Acidification’

    Referensi
    - Carpenter, K., M. Abrar, G. Aeby, R. Aronson, S. Banks, A. Bruckner, A. Chiriboga, J. Cortes, J. Delbeek, and L. DeVantier. 2008. One-third of reef-building corals face elevated extinction risk from climate change and local impacts. Science 321:560. 
    - Hoegh-Guldberg, O., P. Mumby, A. Hooten, R. Steneck, P. Greenfield, E. Gomez, C. Harvell, P. Sale, A. Edwards, K. Caldeira, N. Knowlton, C. Eakin, R. Iglesias-Prieto, N. Muthiga, R. Bradbury, A. Dubi, and M. Hatziolos. 2007. Coral Reefs Under Rapid Climate Change and Ocean Acidification. Science 318:1737-1742.
    - Veron, J. E. N., O. Hoegh-Guldberg, T. M. Lenton, J. M. Lough, D. O. Obura, P. Pearce-Kelly, C. R. C. Sheppard, M. Spalding, M. G. Stafford-Smith, and A. D. Rogers. 2009. The coral reef crisis: The critical importance of <350 ppm CO2. Marine Pollution Bulletin 58:1428-1436.

    Minggu, 25 Oktober 2009

    Identifikasi Ikan dan Karang melalui ponsel dan iPod ?

    Saat sedang menjelajah di Google, secara tidak sengaja saya sampai di situs milik Coral Idea Llc.

    Jika anda seorang peneliti, penyelam atau pemerhati ekosistem terumbu karang, disana saya menemukan suatu yang menarik - simaklah vidio klip di bawah:



    Tidak hanya ikan karang, tersedia juga untuk biota-biota penghuni terumbu karang, simak vidio dibawah.

    Jake Adams, pendiri kegiatan nirlaba CoralIdea, mengembangkan software ringan  yang bisa diunduh dari situs mereka secara cuma-cuma, baik untuk koleksi foto ikan (klik disini) dan biota terumbu karang (klik disini) .

    Inisiatif Jake dalam pengembangan program pada awalnya untuk tujuan para pehobi aquarium terumbu. Bagi Kita yang lebih peka ke arah kelestarian ekosistem terumbu produk semacam ini bisa kita gunakan untuk pendidikan, penelitian dan setidaknya membantu awal perkenalan kita dengan biota-biota terumbu.

    Saat penulisan posting ini, saya belum mencoba sfotware tersebut. Jadi bagi yang sudah mencoba, bagi pengalaman Anda kepada Kita semua dengan mengisi kolom komentar dibawah :)


    Sebuah akuarium terumbu.
    (Foto: www.reefinsider.com)


    Penangkapan ikan untuk tujuan ornamental di dunia mulai berjalan sejak 1930-an, namun mulai intensif ke arah komersil sejak 1950-an. Pada 1970-an perdagangan ini mulai skala industri bernilai jutaan dolar, sejalan dengan perikanan yang terus berkembang di kawasan tropis.

    Saat ini tedapat sekitar 45 negara yang mensuplai pasaran ini. Negara supplier terbesar mencakup Indonesia dan Filipina, diikuti oleh Brazil, Maldives, Vietnam, Sri Lanka dan Hawaii.Konsumen pasar utama adalah Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. Di tahun 2001 diperkirakan nilai total spesimen yang diperdagangkan berkisar antara US$ 28-44 juta.

    Jumlah tahunan spesimen yang ditangkap diperkirakan berkisar antara 14 - 30 juta ikan.
    'Marine Aquaria' bisa membantu mendidik masyarakat tentang keanekaragaman biota terumbu dan konservasi-nya dan perdagangan juga menyediakan pekerjaan dan keuntungan ekonomis bagi negara-negara pensuplai. Namun, ada beberapa masalah utama yang muncul seputar kelestarian biota dan habitat hewan yang diperdagankan.

    DI Asia Tengga, masalah utama mencakup: pengoleksiaan biota secara merusak, seperti penggunaan sianida; pengambilan spesies yang memiliki keberlangsungan hidup yang rendah, kematian spesies yang tinggi akibat penangana pasca-koleksi yangtidak memadai, dan potensi ekploitasi berlebih dan tak terkendali


    Ikan ditangkap dengan cara ditidak sadarkan dengan menyemprotkan sianida ke tempat tinggal mereka.

    Dimasukkan dalam kantong plastik dengan sedikit udara diberikan and 'cukup' air untuk berenang-renang.

    Para 'Nemo' menuju 'rumah baru' mereka. Seberapa banyak-kah yang sudah sukses dalam membuat tiruan habitat asli mereka? Seberapa banyak-kah yang sudah tewas di tangan mereka yang sedang 'mencoba-coba' berhobi aquarium laut.
    Segelintir negara sudah memiliki peraturan pengelolan perdagangan biota laut ornamental yang berjalan, lainnya masih banyak dengan penerapan regulasi yang sangat lemah atau tidak ada sama sekali. Bagaimana dengan Kita? 


     'Ternak' ikan dan biota terumbu modern di Live Aquaria, Georgia, Amerika serikat
    (Foto: www.reefbuilders.com)
     
     Sebuah solusi modern dalam akuakultur untuk memutus rantai penangkapan biota secara langsung di alam oleh manusia. Seberapa banyakkah masyarakat yang mapan dalam keahlian dan sumber dana untuk solusi seperti ini?

    (Foto: www.reefbuilders.com)
    Beragam karang serta ikan yang sukses dibiakkan oleh Live Aquaria
    (Foto: www. reefbuilders.com)
    -----------------------------

    Referensi:
    Wood, E.M. (2001). Collection of coral reef fish for aquaria: global trade, conservation issues and
    management strategies. Marine Conservation Society, UK. 80pp.

    Rabu, 30 September 2009

    Hanya satu tong sampah untuk sebuah kapal kargo 500 ton.


    Teman saya berbagi sebuah wacana tentang lemahnya komitmen pengelola kapal dan perusahaan terkait dalam menjaga lingkungan Laut:

    Standar keamanan kapal dan fasilitas pelabuhan internasional (ISPS Code) merupakan peraturan minimum keamanan internasional untuk pelabuhan dan kapal. Kode ini secara internasional digalakkan sejak 2004 terkait dengan serangan 11 September di AS. Tidak lain tidak bukan, AS hanya ingin kapal-kapal yang diijinkan bersandar di pelabuhan mereka datang dari palabuhan yang menerapkan kode ini.

    Bagaimana dengan Indonesia? Penerapan ISPS baru diterapkan sejak 2005, hasil tinjauan United States Coast Guard (USCG) di 2008 baru bisa mengizinkan 16 pelabuhan di Indonesia. Sisi baik yang pribadi saya lihat dari penerapan aturan ini, terutama dalam kesadartahuan keamaan dalam bekerja dan kelestarian lingkungan.

    Saya bekerja di sebuah pelabuhan di Cilegon, Banten. Secara subjektif, saya menilai di sana bahwa ISPS Code hanya sekedar pelengkap untuk meningkatkan grade pelabuhan tersebut agar disebut sebagai pelabuhan 'internasional'. Namun dimplementasi-nya belum berjalan, contohnya pada pengelolaan sampah kapal.

    Di negara lain, apa bila kedapatan kapal membuang sampah (baik padat ataupun cair) kelaut, maka kapal tersebut tidak di perbolehkan untuk berlabuh di seluruh dermaga pada negara tersebut selama 6 bulan sampai 3 tahun. Inilah alasan yang mendorong setiap pengelola kapal menyediakan dana tambahan untuk menampung sampah dan membuangnya ketika telah sandar di suatu pelabuhan.

    Di Indonesia, jelas beberbeda. Saya sering kali melihat kapal besar milik BUMN (Semen Gr**ik) seperti MV Yu**co dan MV Ce**in, menyediakan tampungan sampah hanya sebuah drum (bertuliskan PER***INA ) dikaitkan di belakang kapal dan diposisikan diluar badan kapal menghadap laut langsung.

    Bisa dibayangkan untuk perjalanan Gresik - Cigadig yang memakan waktu berapa hari (baik perjalanan dan menambat), apakah cukupkan satu tempat sampah untuk menampung sampah selama itu?. Belum menghitung tambahan limbah cair jika memang drum itu di tujukan untuk limbah padat saja, kemanakah dibuangnya?

    Laut pun jadi korban. Tabiat kapal semacam ini nampaknya tidak sedikit, dan nampaknya tidak ada yang terkena sangsi larang labuh hingga saat ini, sejauh yang saya amati.

    Satu pengalaman lagi ketika saya sedang melakukan preventive maintenance di suatu bagian pelabuhan sandar MV (merchant vessel/kapal dagang). Saya melihat seorang ABK sedang melakukan prosedur pembuatan barrier / penghalang, agar tumpahan oli tidak menyebar di laut. Janggalnya, saya lihat ABK tersebut sedang menggunakan majun ( kain perca yang dijahit menjadi satu ) untuk mengelap ceceran oli dan grease di lantai. Ternyata, mereka memasang barrier hanya sepenuhnya mengelilingi geladak kapa, sehingga bagian yang tidak terpasang barrier menjadi jalan keluar oli menyebar ke permukaan laut luas.

    Dikala kesibukan si ABK, saya bertanya “Sedang apa Pak?”; ABK menjawab, “Lagi ngasih makan ikan”, sembari berusaha membersihkan ceceran oli di laut menggunakan majun yang di ikat tali kemudian di celupkan ke air diterjen kemudian di lemparkan ke arah ceceran oli di laut.

    Sangat disayangkan. Sebab, di pelabuhan tempat saya bekerja, yang tiap hari kapal besar membawa bijih bisi bersandar; masih bisa dijumpai terumbu karang di beberapa titik. Berapakah keuntungan yang didapat bagi mereka yang menjalankan perusahaan ini? Berapakah banyakkah kejadian semacam ini di Indonesia tiap harinya?

    Kustiaditya Wiguna

    Jangan tunggu Laut marah, karena kita semua berpura-pura buta dengan hal seperti ini.



    Bahkan negara maju seperti Jepang, di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif-nya bisa kecolongan jadi 'bak sampah laut' selama 15 dari Korea Selatan. Bagaimana dengan Indonesia?
    (Foto: www.japanprobe.com)

    Sabtu, 29 Agustus 2009

    Perikanan Kita yang tak terkendali dan merusak - 3

    Digubah kembali berdasarkan tulisan Nirmal Ghosh,pertama kali di-publsh di The Straaits Times (http://www.straitstimes.com).

    Kesepakatan perlindungan karang yang menjanjikan?

    Banyak ahli mengatakan bahwa kesepakatan enam negara baru-baru ini untuk melindungi Segitiga Karang (Coral Triangle) terlihat meyakinkan dalam kertas-nya, namun prakteknya mungkin bisa berbeda. Pejabat tinggi kementrian dari Indonesia, Timior Leste, Filipina dan Papua Nugini, Malaysia dan Kepulauan Solomon telah bersepakat untuk melindungi sekitar 20 persen dari kawasan luas tersebut.

    Coral Triangle meupakan rumah dari sekitar 75% spesies karang dunia, juga bagi hutan lamun, bakau dan ikan laut.

    Kawasan ini menahan bagian besar keanekaragaman hayati laut global serta menjadi kawasan memijah bagi ikan; namun sayangnya, dilatar belakangi keadaan laut dan samudera yang terus terdegradasi terdegradasi – karena juga merupakan ‘human triangle’. Urgensi ini kabarnya telah ditindaklanjuti melalui pertemuan para pejabat tinggi negara-negara tersebut di Manado untuk sepakat dalam menyelamatkan kawasan tersebut dalam World Ocean Conference (WOC).

    Banyak yang sepakat bahwa Coral Triangel Initiative (CTI) penting dan memang sudah waktunya untuk diadakan; namun, usaha tersebut banyak mendapat kritik juga.

    Di Manado,sekelompok nelayan kecil tradisional dari Filipina, ikut angkat suara. Mengangkat permasalahan tentang direbutnya hak tangkap mereka untuk menanggapi permintaan pasar saat ini dan mereka merasa akan dicegah untuk hal itu. "Nelayan tersebut dipaksa untuk pergi", ujar Patrick Batungbacal dari LSM Tambuyog yang berbasis di Filipina, pada The Strait Times. Beliau berkata bahwa pesan mereka adalah "Jangan rebut hak tangkap nelayan; masyarakat pesisir semestinya mengatur perairan mereka sendiri".

    Sayangnya, hal serupa juga terjadi terhadap LSM WALHI dari Indonesia, yang mengangkat isu serupa. Saat WOC, mekanisme penyampaian aspirasi seperti ini, masih dianggap sebagai ‘demo’, dan berkesan mengganggu acara taraf internasional.

    Para ilmuwan dan pakar lingkungan percaya bahwa sebuah kemajuan berarti bisa tercapai untuk pertamakalinya melibatkan enam pejabat tinggi kementrian dalam CTI melalui WOC 2009 kemarin. Selain penetapan kawasan perlindungan, pertemuan tersebut juga membahas isu seperti pengelolaan ekosistem pesisir dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

    Dilaporkan bahwa CTI telah menarik kesepakatan komitmen pendanaan sebesar 5 juta USD dari Indonesia dan FIlipina, dua juta USD dari Papua Nugini dan 1 juta USD dari Malaysia. Amerika Serikat sepakat memberikan dana sebesar 41.6 juta USD dan Australia 1.5 juta USD. The Global Environmental Facility akan menyediakan sekitar 63 juta USD.

    Di Asia, CTI dianggap sebagai terobosan besar namun para ahli yang terlibat langsung di lapangan di bidang konservasi dan sumberdaya laut tidak begitu merayakan gebrakan politik lingkungan tersebut. Simon Funge-Smith, salah satu staff senior perikanan di FAO Bangkok, berkata bahwa permasalahan saat ini ialah bagaimana menjembatani antara perlindungan dan pemanfaatan sumberdata laut.

    "Permasalahan akan muncul ketika Anda mendeklarasikan suatu kawasan perlindungan terkait dengan hajat banyak orang", ujar Simon.

    CTI bisa memberikan kawasan perlindungan yang luas dan berarti karena peranan yang pasti untuk memberikan suaka bagi spesies laut. Namun, secara legal, perlindungan ini sangat bisa juga memisahkan masyarakat dalam jumlah besar dengan mata pencaharian mereka.

    Armada pukat (trawler) komersil dengan daya jelajah antar negara bisa bergerak kemana saja, namun penduduk lokal (masyarakat pesisir) jelas tidak mobile. Dan tidak lupa bahwa ada jumlah manusia yang sangat besar tergantung pada sumberdaya laut di Coral Triangle.

    Sudah menjadi kenyataan umum bahwa kawasan perlindungan alam baik di laut maupun di darat harus mendapatkan dukungan dari stakeholder lokal (tidak hanya pejabat daerah, pengelola bisnis, namun –terpenting – masyarakat pesisir) jika tujuan konservasi ingin tercapai.

    "Pemerintah baik lokal hingga bilateral berharap laut bisa terus berproduksi namun keteladanan kita lemah bahkan patut dipertanyakan", ujar Funge-Smith. "Sudah semestinya kita bertindak agar perikanan kita bisa beristirahat sejenak."

    Meng-istirahatkan, atau setidaknya, mengurangi intensitas perikanan di Indonesia; sayangnya sampai saat ini belum bisa terwujud.

    Bahkan mengurangi kepadatan kendaraan bermotor di Jakarta (tempat berlangsungnya pusat pemerintahan)-pun masih gagal dengan implementasi TransJakarta beberapa tahun belakang ini. Apalagi yang terjadi disudut-sudut terpencil laut dan pulau kita.

    Ada yang salah dalam berjalannya sistem dan kepribadian bangsa kita yang menghambat pelestarian laut.

    ---Selesai---

    Sabtu, 15 Agustus 2009

    Perikanan Kita yang tak terkendali dan merusak - 2


    Digubah kembali berdasarkan tulisan Nirmal Ghosh,pertama kali di-publish di The Straits Times (http://www.straitstimes.com).

    Laporan terkini Status Perikanan dan Akuakultur Dunia dari FAO memperkirakan bahwa lebih dari setengah milyar orang terlibat dalam industri perikanan dan akuakultur dimana sebagian besar berlangsung di Asia.

    Di dunia, ikan mensuplai 15 persen dari dari rata-rata konsumsi protein hewani per kapita. Namun, di kebanyakan negara berkembang kecil seperti Indonesia, Bangladesh, Kamboja, Guinea Ekuator, French Guiana, Gambia, Ghana, Sierra Leone; angka tersebut bisa mencapai 50 persen.

    Terkait dengan ini, kajian ilmiah menyatakan bahwa lingkungan laut saat ini dalam status diambang kelumpuhan (collapse). Jika kita tidak segera bertindak, dalam kurun waktu 50 tahun - rentang waktu anak-anak dan remaja saat ini - sebaran seafood yang kita konsumsi saat ini akan menurun dan tergantikan hingga sebatas spesies-spesies yang diternakkan secara artifisial dan limpahan ikan tergantikan oleh ubur-ubur.


    Memancing habis ikan. Ikan laut ekonomis seperti Kerapu, Kakap, Ekor Kuning semakin sulit ditemui. Mereka yang umumnya menduduki rantai makanan atas di terumbu (ikan predator, karnivora) sudah hampir habis - Indonesia jelas tidak luput akan keadaan ini. Foto diatas adalah Ikan Kakatua (Famili: Scariidae), dijaja di pasar swalayan terkemuka H**O, di salah satu Mall terkemuka di kawasan Pondok Indah, Jakarta. Melihat ukurannya, mereka masih tegolong juvenil/muda, belum sempat dewasa dan berkembang biak sudah ditangkap Kita. Di laut, ikan ini adalah herbivor - pemakan tumbuhan, mereka tinggal di kawasan terumbu karang, bertugas 'memangkas' algae-dan rumput laut agar tidak tumbuh menutup karang. Habisnya ikan predator, membuat Kita mengincar herbivor untuk dijual. Hilangnya ikan herbivor, berarti karang akan lebih mudah 'kalah' dalam kompetisi ruang dengan alga dan rumput laut dan lebih sulit untuk pulih ketika diterpa kerusakan fisik manusia. JANGAN MAKAN IKAN INI.
    (Foto: Siham Afatta)

    Dr Sylvia Earle, disebut majalah Time sebagai "Hero of the Planet", oseanografer wanita yang telah memimpin lebih dari 50 ekspedisi ternama selama 4 dekade terakhir, dan lebih dari 6000 jam di bawah laut; berpesan "Kita telah merubah wujud lautan kita sejalan dengan usaha kita yang terus meningkat, tak terhentikan dan merusak dalam mengejar cadangan seafood kita yang terus semakin menipis."

    Beliau juga berkata: 'Hanya dalam kurun waktu 50 tahun, umat manusia telah mampu menghabisi lebih dari 90 persen ikan besar di dilautan. Disertai dengan separuh terumbu karang dunia yang telah hilang."

    Terlalu banyak yang menangkap. Terlalu sedikit yang tersedia.
    (Gambar: http://inside.isb.ac.th/)

    Apakah, tingginya populasi manusia di Asia terkait dengan ini?. Tidak juga, perairan Eropa juga sama buruknya dengan Asia. Sepertihalnya armada besar pukat (trawler) dari Taiwan, Jepang dan Cina yang saat ini merambah ke perairan terbuka sebab lautan mereka sendiri sudah habis dipancing; Eropa telah lama meng-ekspor kerusakan di perairan Afrika melalui perikanan pukat-dasar-laut (bottom trawling). Pasar global juga bepengaruh dalam hal ini.

    Isabella Lövin, pengarang buku Tyst Hav (Silent Sea), pernah berkata kepada harian The Strait Times: "Dua puluh persen dari subsidi bagi nelayan oleh European Union (EU) digunakan untuk membeli hak tangkap ikan di negara berkembang seperti Guienna-Bissau, Senegal, Mauritania."

    "EU sempat mengadakan kesepakatan perikanan dengan Senegal hingga 2006, setelah itu terhenti, karena perairan sudah ditangkap berlebih (overfished), tak ada ikan tersisa untuk ditangkap."

    "Pemicu kesepakatan perikanan semacam tidak lain karena kita (EU) telah menangkap ikan berlebih di perairan kami selama berpuluh-puluh tahun. Dalam waktu yang sama, terjadi peningkatan selera akan ikan di Eropa. Sekarang, seperempat dari ikan yang sampai di Eropa, datang dari kesepakatan macam ini."

    Kasarnya, negara berkembang Afrika tidak mampu mengekstraksi secara optimal dan efisien 'kebun laut' mereka sendiri, bahkan pangsa pasar bukan mereka yang menentukan, melainkan Eropa melalui EU. Untuk Indonesia, apakah keadaan semacam ini bisa terjadi?

    Mungkin saja sudah. Dipetik langsung dari COMMIT Tahun 2008 investasi sektor perikanan Indonesia 100 % bersumber dari Penanaman Modal Asing (PMA) dan kurun waktu 2006 – 2009 menurun 5,6 %. Salah satu alasannya ialah karena BUMN Usaha Mina tak mampu mendapatkan bahan baku ikan tuna yang mencukupi untuk industrinya (Suhana, 2009).

    Alasan kekurangan bahan baku tak berdasar karena sekitar 433.512,39 ton (93,83 %) produksi tuna tak ketahuan rimbahnya (Suhana, 2009). Mengapa? Karena, tahun 2006 volume ekspor tuna nasional hanya 35.459,96 ton (6,17 %) dari produksi total 575.087,85 ton (Suhana, 2009). Jadi, alasan kekurangan bahan baku untuk melepas PPMA untuk ikan Tuna tercinta kitatak masuk akal . Jika demikian kasusnya, berarti terjadi unreported fishing yang amat besar dan merugikan negara - dari pemerintah itu sendiri.

    Apakah mungkin ini yang dimaksud 'pengambilalihan sumberdaya laut' sebagai timbal balik dukungan pengelolaan kawasan konservasi laut oleh lembaga – lembaga internasional oleh The Nature Conservation (TNC), Wold Wild Foundation (WWF) dan Conservation International (CI) dalam skema Coral Triangle Inititives? Penulis tidak bisa berkomentar lebih banyak mengenai hal ini.

    Tidak hanya bencana dari penangkapan berlebih serta pasar global yang tak henti memicu ekstraksi ikan dari laut. Lautan juga dikotori oleh jaring dan sampah yang dibuang; di suatu tempat di Samudera Pasifik, sempat terapung hamparan sampah plastik hingga sedalam 10 meter dan lebih luas dari area negara Perancis. Polusi dan pemanasan global terus meng-asam-kan laut, membunuh karang dan organisme laut berkapur lainnya.

    Dua lingkaran besar kawasan 'Sup Sampah' Timur dan Barat Samudera Pasifik. Terbentang mulai perairan Jepang hingga sejauh Hawaii. Lapisan 'Sup Plastik' ini yang tidak terurai ini terus berputar didorong oleh arus Gyre Pasifik Utara, dan bisa mencapai kedalaman hingga 10 meter. (Diagram: GreenPeace)

    Dan ketika ikan sudah habis mati, industri seafood, sebagai lingkaran setan yang terus membesar, akhirnya akan memaksa komunitas pesisir untuk berternak udang - yang mana dalam prosesnya menghancurkan mangrove, bersama dengan terumbu karang, yang keduanya merupakan ekosistem paling produktif di bumi. Sudah terjadi di Pulau Jawa.

    Referensi:
    - FAO. 2009. The State of World Fisheries and Aquaculture - 2008. Roma (Pranala unduh disini)
    - Jackson, J. 2001. Historical Overfishing and the Recent Collapse of Coastal Ecosystems. Science 293:629-637.
    - Suhana. 2009. Melawan ”Neoliberalisme” di Sektor Kelautan dan Perikanan. COMMIT.